Biografi KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi'i Jakarta Seorang Ulama Kharismatik Meninggal Hari ini

- 10 Juli 2021, 20:23 WIB
Biografi KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi'i Jakarta Seorang Ulama Kharismatik Meninggal Hari ini./
Biografi KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi'i Jakarta Seorang Ulama Kharismatik Meninggal Hari ini./ /Tangkapan layar twitter @fahiraidris



MANTRA SUKABUMI - Inilah biografi KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi'i Jakarta seorang ulama kharismatik yang meninggal hari ini.

Dalam unggahan video pemilik akun Twitter @Alie_Fahnoor memperlihatkan meninggalnya KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi'i.

KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi'i seorang ulama kharismatika meninggal dunia hari ini Sabtu, 10 Juli 2021 pukul 17.38 WIB. menurut pemilik akun Twitter tersebut.

Baca Juga: Profil dan Biodata dr Lois Owein Lengkap Agama, Umur, Pendidikan, Instagram, Twitter hingga Fakta Menarik

"Innalilahi wainnailaihi rojiun telah berpulang ke Rahmatullah..
gurunda KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi'ie.. Balimatrama, Jakarta Selatan PKL 17.38 . Alfaatihah," Dikutip mantrasukabumi.com dari akun Twitter @Alie_Fahnoor pada Sabtu, 10 Juli 2021.

Disini juga tersedia informasi mengenai biografi K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i. dirangkum mantrasukabumi.com dari berbagai sumber.

K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i adalah seorang ulama dan mubaligh
dari suku Betawi, beliau adalah putra ke tiga dari K.H. Abdullah Syafi’i seorang
mubaligh besar Nasional berasal dari Jakarta yang wafat pada tanggal 3 september
1985.

KH. Abdullah Syafi’i adalah seorang ulama asal betawi, yang dikenal sebagai singa podium dizamannya, dan juga pendiri pesantren Asy Syafi’iyah di Jakarta.

Lahir di Bali Matraman Jakarta Selatan, pada 10 Agustus 1910 M. Pendidikan formalnya hanya kelas 2 SR (sekolah rakyat). Sejak kecil ia bercita-cita untuk menjadi ahli pidato dan juru da’wah.

Karena itu ia kemudia belajar kepada ulama-ulama besar baik di Jakarta maupun Jawa barat. Diantaranya beliau belajar kepada Kyai Jauhari bin Sulaiman (tebet), Kyai Muanif (menteng atas), Kyai Marzuki (cipinang), Habib ali al Habsyi (Kwitang), Habib ali bin Husein (bungur) serta Habib Alwi bin Thohir (bogor).

Ayahandanya bernama H. Syafi’i bin Sairan yang bekerja sebagai pedagang buah-buahan.

Sedangkan ibunya bernama Nona binti Sya’ari yang selain memiliki hobi berdagang juga memiliki keterampilan membuat kecap untuk dipasarkan dari rumah ke rumah.

Dari pasangan suami istri itulah lahir KH. Abdullah Syafi’i dan dua orang saudara perempuannya, yaitu Rukoyyah dan Aminah.

Pada usia 13 tahun, Abdullah Syafi’i bersama orang tuanya telah melaksanakan ibadah haji ke Makkah selanjutnya pada usia 18 tahun ia sudah menikah dengan Siti Rogayah binti KH. Ahmad Mukhtar, seorang wanita terpelajar dan pernah menjadi pembaca Al-Qur’an di Istana Negara di hadapan Presiden Sukamo pada tahun 1949.

Dari pernikahannya ini, KH. Abdullah Syafi’i memiliki lima orang anak yang bernama Muhibbah, Tuty Alawiyah, Abdur Rasyid, Abdul Hakim dan Ida Farida.

Pada tahun 1951, Siti Rogayah, isteri KH. Abdullah Syafi’i meninggal dunia. Kemudian pada tahun 1958, putrinya yang tertua, Muhibbah juga dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

Terdorong oleh kebutuhan teman pendamping dalam rangka memperjuangkan cita-citanya untuk memajukan masyarakat, maka atas restu dari keluarganya, ia menikah lagi dengan seorang gadis yang bernama Salamah.

Dari perkawinan yang kedua ini, ia dikaruniai sepuluh orang anak, yaitu Mohammad Surur, Syarif Abdullah, Mohammad Zaki, Elok Khumaira, Ainul Yaqin, Syafi’i Abdullah, Nufzatul Tsaniyah, Muhammad, Thuhfah, dan Laila Sakinah.

KH. Abdullah Syafi’i yang sehari-harinya dipanggil dengan nama Dulloh, sebenarnya memiliki bakat berdagang sebagai mana orang tuanya.

Ketika ia menuntut ilmu agama di berbagai daerah, ia telah berdagang barang-barang keperluan masyarakat, seperti kain batik dan songkok.

Ia dikenal sebagai ulama yang energik, berbagai kegiatan ia lalaikan, mulai dari memberikan ceramah pengajian di beberapa majlis ta’lim, mendirikan dan mengelola pendidikan agama yang kemudian berkembang secara luas, dengan tidak meninggalkan profesinya dalam bidang perdagangan.

Baca Juga: Biodata, Profil dan Biografi Nia Ramadhani, Lengkap Agama, Keluarga hingga Karirnya

Bersepeda Jakarta-Bogor demi menimba ilmu.

Pendidikan KH. Abdullah Syafi’i dimulai dengan memasuki Sekolah Rakyat (SR) hanya selama 2 tahun.

Setelah itu ia belajar dari satu ustadz ke ustadz yang lain, dari satu habib ke habib yang lain.

Ayahnya memberikan sarana dan fasilitas yang berupa sepeda yang pada saat itu tergolong barang yang mewah. Dengan sepeda ia mendatangi guru-gurunya untuk mempelajari agama Islam.

Bahkan ia pernah belajar ke seorang guru yang berada di Bogor yang jaraknya puluhan kilometer dari Jakarta dengan mengendarai sepeda.

Di antara ulama yang pernah menjadi gurunya adalah Mu’alim Al-Mushonif dalam bidang nahwu, KH. Abdul Majid (Guru Majid) dan KH Ahmad Marzuki (Guru Marzuqi) dalam bidang fiqih, Habib Alwi Al Haddad dalam bidang tasawuf, tafsir dan ilmu pidato, Habib Salim bin Jindan di Jatinegara dalam bidang ilmu hadist, Guru Mansur dalam bidang falaq dan Habib Ali Kwitang.

Saat belajar kepada Habib Ali, ia bersama KH. Fathullah Harun dan KH Tohir Rohili dipersaudarakan oleh Habib Ali dengan putranya, Habib Muhammad Al-Habsyi.

Dari KH. Abdullah Syafi’i dan KH. Tohir Rohili berdiri dan berkembang pesat majelis taklim As-Syafi’iyah dan At-Tahiriyah.

Sedangkan KH. Fathullah Harun menjadi Ulama Betawi terkenal di Malaysia dan menjadi Imam Besar di masjid Negara Kuala Lumpur.

Hal tersebut menunjukkan bahwa cara belajar yang digunakan KH. Abdullah Syafi’i adalah Rihlah ilmiyah yang di dalam dunia Islam sudah lama dikenal.

Di antara cara belajar yang digunakan KH. Abdullah Syafi’i adalah bahwa pada setiap hari tidak kurang dari 4 jam ia pergunakan untuk membaca kitab yang dilanjutkan dengan membuat catatan yang berupa intisari dari kitab yang dibacanya itu.

Catatan riwayat hidupnya mengatakan, bahwa pada menit terakhir dia akan dipanggil Allah (wafat), ia meminta kepada putra-putrinya agar selalu membaca sebuah kitab.

Salah seorang putranya, Abdul Rasyid mengatakan, bahwa KH. Abdullah Syafi’i memiliki semangat menuntut ilmu yang tinggi dan pembaca yang kuat, bahkan sebelum ia dipanggil Allah SWT masih sempat meninggalkan sebuah kitab untuk dibaca.

Setelah ia merasa cukup memiliki bekal pengetahuan agama, maka mulailah ia berusaha mengamalkannya.

Pada usia yang tergolong muda, yaitu usia 18 tahun, ia telah mendirikan madrasah yang bertempat di tanah wakaf seluas 8000 m2 yang, diberikan oleh ayahnya di kampung Bali Matraman.

Awalnya didirikan Madrasah Islamiyah yang akhirnya berganti nama Perguruan As-Syafi’iyah. Lalu di usia 23 tahun atau pada tahun 1933 ia mendirikan Masjid Al-Barkah.

Dalam perkembangannya Masjid Al-Barkah digunakan sebagai tempat pengajian yang selanjutnya berkembang pesat sehingga membuat cabang di Kebon Jeruk Jakarta Barat, Pejaten Jakarta Selatan dan Bekasi Jawa Barat.

KH. Abdullah Syafi’i mempunyai semangat dan dorongan untuk mendirikan madrasah berdasarkan pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, ia melihat bahwa Bangsa Indonesia terutama etnis Betawi masih banyak yang bodoh sehingga secara sosial ia terpinggirkan.

Kedua, untuk kalangan masyarakat Betawi, madrasah lebih diminati ketimbang pesantren.

Ketiga, masyarakat Betawi yang umumnya beragama Islam yang taat lebih memilih madrasah daripada masuk sekolah Belanda.

Keempat, berdirinya madrasah pada waktu itu dapat dinilai sebagai respons dari adanya modernisasi yang terjadi di Batavia serta pengaruh dari Timur tengah, khususnya Mesir.

Kelima, sebagai orang yang dibesarkan di kalangan komunitas Betawi yang religius dan agamis, tentu saja KH. Abdullah Syafi’i lebih memilih lembaga pendidikan yang bernuansa Islami.

Sehubungan dengan keberhasilannya dalam bidang pendidikan ini, pada usia 21 tahun ia mendapatkan sertifikat atau beslit dari Rachen Scahf, sebagai pengakuan bahwa ia layak untuk menjadi pendidik.

Baca Juga: Biografi Deddy Corbuzier Pernah Dua Kali Tidak Naik Kelas, Lengkap dengan Agama

Di madrasah yang dimilikinya, ia bersama istrinya, Rogayah mengajarkan ilmu agama, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu akhlaq dan ilmu-ilmu agama lainnya.

Seiring dengan perkembangan pengajian, Madrasah Diniyah pun ikut berkembang. Pada tahun 1957 didirikan Madrasah Tsanawiyah (MTS), Raudhatul Athfal pada tahun 1969.

Setahun kemudian pada 1970 didirikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Pengembangan lembaga pendidikan formal ini tidak hanya di Bali Matraman tetapi juga di Jatiwaringin.

Selain itu juga mengembangkan kegiatan sosial, seperti poliklinik, pondok yatim piatu dan untuk kepentingan dakwah didirikan Radio AKPI As-Syafi’iyah.***

Editor: Dea Pitriyani


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah