Simak, Perbedaan Serta Risiko Pinjaman Online dan Peer to Peer Lending

- 1 Juni 2021, 09:50 WIB
Simak, Perbedaan Serta Risiko Pinjaman Online dan Peer to Peer Lending./*
Simak, Perbedaan Serta Risiko Pinjaman Online dan Peer to Peer Lending./* /Pixabay/Mediamodifier/

MANTRA SUKABUMI - Beberapa waktu ini dihebohkan oleh kasus seorang guru TK di Malang yang terbelit utang kepada sejumlah aplikasi pinjaman online atau pinjol.

Tak tanggung-tanggung jumlahnya mencapai puluhan juta. Sebagai akibatnya, ia diteror oleh beberapa tenaga debt collector pinjol tersebut.

Sehingga memantik reaksi sejumlah pihak, di antaranya adalah Walikota Malang dan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK.

Baca Juga: Rakyat akan Dibunuh dengan Vaksin China? Simak Penjelasan dan Faktanya

Akibat dari kasus tersebut, banyak masyarakat yang mempertanyakan mengenai keamanan meminjam di aplikasi pinjaman online dan khususnya aplikasi P2P lending.

Penting diketahui bahwa banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan peer to peer lending atau P2P lending dengan pinjol atau pinjaman online.

Umumnya masyarakat hanya menduga kesamaan antara keduanya, yaitu sama-sama memberikan pinjaman/pembiayaan, sebagaimana dikutip mantrasukabumi.com dari nu.or.id pada 1 Juni 2021.

Padahal dalam praktiknya, keduanya berbeda dari segi operasional dan sekaligus tata cara pendiriannya.

 Baca Juga: Cara Dapat Chip Higgs Domino Island Terbaru Secara Gratis, Cek Disini Tanpa Ribet

Payung Hukum Pinjaman Online dan P2P Lending pinjaman online merupakan platform pembiayaan dalam bentuk dana tunai kepada masyarakat melalui bantuan teknologi informasi.

Ketika masyarakat mengakses pinjaman online, maka ia berhadapan dengan satu pihak saja, yaitu platform penyedia yang menempatkan diri sebagai marketplace.

Platform penyedia ini tidak memiliki payung hukum, sehingga ilegal secara hukum positif negara.\

Adapun P2P lending, sebagaimana pinjol, ia juga merupakan sebuah platform yang menawarkan bantuan pembiayaan atau kredit kepada masyarakat dalam bentuk dana tunai dan lewat perantara teknologi informasi.

Status P2P Lending, juga berperan sebagai marketplace sehingga merupakan tempat yang mempertemukan antara investor atau pemberi pinjaman dan peminjam.

Penyelenggaraan P2P lending diatur secara ketat oleh POJK Nomor 77 Tahun 2016.

Sebagai platform yang menawarkan jasa pembiayaan, baik disadari atau tidak, secara tidak langsung keberadaan kedua platform ini bergerak dalam bisnis dan berorientasi pada pencarian profit (keuntungan).

Setiap dana yang dikucurkan sudah pasti menghendaki adanya imbal hasil berupa keuntungan.

Baca Juga: Ayu Ting Ting Menangis Tersedu Dipelukannya, Ivan Gunawan: Gua Kasihan, Dia Selalu jadi Orang yang Tersudutkan

Untuk mendapatkan keuntungan mereka harus menggaet banyak konsumen. Semakin banyak konsumen, maka peluang keuntungan semakin besar.

Konsumen mereka adalah para lender/debitur yang mengajukan pembiayaan kepadanya.

Akad Pinjol dan P2P Lending serta Imbasnya Baik pinjol dan P2P lending adalah sama-sama bergerak dalam bidang pembiayaan atau pemberi kredit (qardh).

Secara syara’, akad utang-piutang merupakan akad yang berbasis amanah dan sekaligus dengan niatan untuk tolong-menolong (ta’awun).

Relevansi dari akad amanah adalah besaran dana yang dipinjamkan harus kembali sesuai dengan besaran pihak peminjam mengajukannya.

Jika pinjam Rp100 ribu, maka harus kembali Rp100 ribu. Sebagai akad yang berbasis ta’awun, maka pengucuran dana (pemberian utang) kepada pihak lender harus dengan niat membantu.

Batasan ketentuan syara’ (dhabith) dari akad ta’awun adalah bila terjadi kegagalan dalam membayar, maka pihak pemberi pinjaman harus bisa menjadwalkan (rescheduling) lagi skema pembiayaannya, atau melakukan restrukturisasi.

Baca Juga: Gerah Sebut Buzzer Rusak Negara, Feri Amsari Serukan Lawan Buzzer

Semua ini berangkat dari ketentuan bahwa akad qardh (utang piutang) yang dibenarkan dalam syara’ adalah qardhul hasan (pinjaman lunak).

Karena kedua sikap tersebut umumnya dilakukan terhadap pihak-pihak yang saling mengenal satu sama lain.

maka dibutuhkan keberadaan penjamin (dlamin/kafil) bila hal itu harus melibatkan skala masyarakat luas yang belum tentu saling mengenal.

Dalam konteks ini maka pihak penjamin dari P2P lending adalah Otoritas Jasa Keuangan selaku penerbit POJK Nomor 77 Tahun 2016.

Sementara itu, bagi pinjaman online ilegal, karena ketiadaan payung hukum, maka sikap penjaminannya adalah ditentukan oleh penyelenggara platform itu sendiri, mengingat uang yang dipinjamkan kepada debitur/lender bukan uang mereka sendiri.

Baca Juga: Seorang Pria Protes Hasil Swab Antigen Karena Positif Covid-19, Netizen: Selamat Anda Kena Korban Bisnis Covid

Amanah penjaminan secara umum ditujukan atas dua hal, yaitu (1) terhadap kembalinya dana yang diutangkan (penagihan nasabah), dan (2) hak nasabah untuk mendapatkan rescheduling atau restrukturisasi terhadap pengembalian bila terjadi kesulitan untuk mengembalikan.

Upaya menjalankan amanah ini pada akhirnya membutuhkan seorang debt-collector (jasa penagih utang).

Di sinilah kemudian terjadi sejumlah permasalahan-permasalahan. Dampak Keberadaan P2P Lending Legal dan Ilegal Mencermati terhadap beberapa fakta penyelenggaraan P2P lending ilegal dan pinjol yang ilegal.

maka tampak beberapa fakta perbedaan keduanya dalam ruang aplikasinya di masyarakat. Pertama, proses pengajuan pembiayaan.

Sebagai platform yang sama-sama berorientasi pada bisnis dan pencarian keuntungan, maka terjadi persaingan dalam menggaet konsumen.

Bagi P2P lending yang legal, maka cara menggaet ini sudah ditetapkan aturannya lewat POJK Nomor 77 Tahun 2016.

Adapun untuk pinjol yang ilegal, maka kebanyakan perusahaan tidak melakukan seleksi dan identifikasi secara benar pada setiap calon peminjam.

Tidak ada penilaian khusus untuk melihat kelayakan dari peminjam. Ini menunjukkan bahwa pinjaman yang diberikan itu sifatnya sembarangan dan tidak profesional.

Kedua, kantor alamat perusahaan. Berdasarkan POJK 77/2016, P2P lending legal memiliki kantor fisik dengan alamat yang jelas dan tidak sekedar Virtual Officer (kantor berbasis virtual/online) semata.

Sementara itu, bagi pinjol ilegal, mereka umumnya hanya memiliki virtual officer. Jadi, selaku perusahaan yang tidak memiliki izin operasional, maka mereka tidak memiliki alamat kantor yang jelas.

Ini tentu saja akan menyulitkan peminjam jika suatu saat mengalami masalah atau kendala.

Baca Juga: Gerah Sebut Buzzer Rusak Negara, Feri Amsari Serukan Lawan Buzzer

Ketiga, penyalahgunaan data peminjam. Bagi P2P Lending yang legal dengan ciri kepemilikan kantor fisik yang riil, maka bilamana terjadi kasus gagal bayar, atau indikasi adanya gagal bayar pada konsumen.

maka pihak konsumen ada kemungkinan untuk mendatangi kantor tersebut untuk mengajukan penjadwalan ulang terhadap utangnya.

Lain halnya dengan pinjol ilegal, karena tidak memiliki kantor fisik, maka satu-satunya alasan untuk melakukan penagihan adalah dengan memanfaatkan data peminjam yang sudah diserahkan kepada pihak pinjol.

Jadi, bila ada kasus beberapa pihak yang tidak merasa melakukan pinjaman online namun dia tiba-tiba dikontrak oleh perusahaan pinjol, maka itu adalah tanda-tanda adanya penyalahgunaan data peminjam dengan niatan untuk mempermalukan (pencemaran nama baik).

Alhasil, beberapa kasus kebocoran data pengguna adalah yang selama ini cukup ramai menghiasi ranah fintech tanah air.

Baca Juga: Bocoran Tokyo Revengers Episode 9 'Alur Ceritanya Semakin Menegangkan' Berikut Tanggal Rilisnya

sebenarnya ada kaitannya dengan ulah perusahaan pemberi pinjaman online yang tidak profesional dan tidak bertanggung jawab dalam menggaet nasabah dan sekaligus melakukan penagihan.

Berbeda dengan perusahaan peer-to-peer lending berizin, ada aturan POJK77/2016 yang membatasi gerak-geriknya sehingga hanya data tertentu saja yang boleh digunakan oleh pihak pemberi pinjaman.

Keempat, proses penagihan yang tidak profesional. Sebagaimana kasus Guru TK yang sudah sampaikan sekilas di atas, adalah contoh kasus kecil dari kasus pinjaman online yang berujung tidak menyenangkan.

Hal ini terjadi karena pemberi pinjaman tidak menagih dengan cara yang profesional. Mereka tidak hanya menghubungi nomor kerabat peminjam, bahkan kerap menggunakan kata-kata kasar saat menagih.

Ini tentu sangat tidak mencerminkan profesionalisme dan bisa menimbulkan ketidaknyamanan.***

Editor: Fauzan Evan

Sumber: nu.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah