Karyawan Facebook Mogok Kerja Akibat Cuitan Donald Trump dan Memprotes Perusahaan, CEO Bergeming

- 3 Juni 2020, 11:17 WIB
CEO Facebook, Mark Zuckerberg.
CEO Facebook, Mark Zuckerberg. /ANTARA/Reuters/

MANTRA SUKABUMI - Karyawan Facebook hampir semuanya bekerja dari rumah dikarenakan pandemi wabah virus corona.

Mogok kerja dilakukan sekelompok karyawan tersebut pada Senin, 1 Juni 2020.

Mereka memprotes bahwa seharusnya perusahaan melakukan tindakan terhadap unggahan Trump yang berisi frasa "ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai."

CEO Facebook Mark Zuckerberg mengatakan tetap pada keputusannya untuk tidak menentang unggahan Presiden AS Donald Trump, meskipun karyawan memprotes sikapnya, Reuters melaporkan, Selasa, 2 Juni 20206, sebagaimana dikutip dari laman Antaranews.com.

Baca Juga: Kongo Kembali Diserang Wabah Ebola Jenis Baru, UNICEF Hampir Deklarasikan Bebas Ebola

Sekelompok karyawaan Facebook -- hampir semuanya bekerja dari rumah karena pandemi COVID-19 --mogok kerja pada Senin (1/6). Mereka memprotes bahwa seharusnya perusahaan melakukan tindakan terhadap unggahan Trump yang berisi frasa "ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai."

Menurut juru bicara perusahaan, Zuckerberg telah menjelaskan kepada karyawan dalam sebuah obrolan video bahwa Facebook telah melakukan tinjauan menyeluruh, dan benar untuk membiarkan unggahan tersebut.

Zuckerberg juga mengakui keputusan itu telah mengecewakan banyak karyawan dan mengatakan bahwa Facebook sedang mencari opsi "non-biner" untuk membiarkan atau menghapus unggahan seperti itu.

Salah seorang karyawan Facebook, yang mengunggah cuitan kritik pada Senin (1/6), kembali mengunggah cuitan di Twitter selama pertemuan tersebut untuk mengungkapkan kekecewaan.

Baca Juga: Tiongkok Sebut Amerika Serikat 'Kecanduan untuk Berhenti' setelah Resmi Tinggalkan WHO

"Sangat jelas hari ini bahwa pimpinan menolak untuk mendukung kami," tulis karyawan Facebook Brandon Dail di Twitter. Profil LinkedIn Dail menyebutkan bahwa dia adalah insinyur antarmuka pengguna di Facebook, di Seattle.

Sementara itu, pada Jumat (29/5), Twitter menempelkan label peringatan untuk cuitan Trump tentang protes yang meluas atas kematian seorang pria kulit hitam di Minnesota yang memasukkan frasa "ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai."

Twitter mengatakan bahwa unggahan tersebut melanggar aturannya yang dinilai melazimkan kekerasan. Langkah Twitter itu membatasi distribusi dan interaksi cuitan Trump.

Facebook menolak untuk bertindak berdasarkan pesan yang sama, dan Zuckerberg berusaha menjauhkan perusahaannya dari pertarungan antara Trump dan Twitter. Zuckerberg mengatakan meski pernyataan Trump "sangat ofensif," itu tidak melanggar kebijakan perusahaan tentang hasutan untuk melakukan kekerasan.

Baca Juga: Oposisi Italia Turun ke Jalan Lakukan Unjuk Rasa, Langgar Aturan Pembatasan Sosial

Twitter pekan lalu juga memberi label cek fakta untuk cuitan Trump yang berisi klaim menyesatkan tentang surat suara. Facebook, yang mengecualikan unggahan politisi dari program cek faktanya yang bekerjasama dengan pihak ketiga, tidak melakukan tindakan apa pun pada unggahan itu.

Timothy Aveni, insinyur perangkat lunak junior di tim Facebook yng didedikasikan untuk memerangi misinformasi, mengumumkan pengunduran dirinya sebagai protes atas keputusan itu.

"Mark selalu memberi tahu kami bahwa dia akan menarik garis tegas pada pidato yang menyerukan kekerasan. Pada hari Jumat dia menunjukkan kepada kita bahwa itu bohong. Facebook akan terus memindahkan garis batas setiap kali Trump meningkatkan tensi, mencari alasan demi alasan untuk tidak bertindak," tulisnya dalam unggahan Facebook.

Baca Juga: Datang Bagai Pukulan Tambahan, Corona Belum Usai Kini Wabah Ebola Menyebar di Afrika

Para pembela hak-hak sipil yang menghadiri video call selama satu jam pada Senin malam dengan Zuckerberg dan eksekutif Facebook lainnya menyebut pembelaan CEO atas pendekatan lepas tangan pada unggahan Trump tersebut "tidak bisa dipahami."

"Dia tidak menunjukkan pemahaman tentang penindasan terhadap hak memilih dan dia menolak mengakui bahwa Facebook memfasilitasi seruan Trump untuk kekerasan terhadap demonstran," bunyi pernyataan bersama dari para pemimpin pembela hak sipil.

Sejumlah kritik diunggah di Twitter untuk meminta agar dewan pengawas independen Facebook untuk mempertimbangkan kembali. Namun, dewan tidak akan meninjau kasus apapun hingga awal musim gugur, dan pengguna sebenarnya hanya akan dapat mengajukan banding ke dewan saat konten dihapus, bukan konten yang telah diputuskan untuk dibiarkan tetap ada oleh Facebook.

Dewan pengawas, yang memiliki kekuatan untuk menolak keputasan Zuckerberg, hanya akan meninjau sebagian kecil keputusan Facebook terhadap konten.

Zuckerberg, menurut situs berita Axios, melakukan pembicaraan dengan Trump pada hari Jumat (29/5), demikian Reuters.**

Editor: Emis Suhendi

Sumber: antaranews


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x