Rebo Wekasan, Indikasi Kesialan dalam Quran dan Hadits

14 Oktober 2020, 10:48 WIB
Ilustrasi Rabu Wekasan /

MANTRA SUKABUMI – Setiap hari apapun itu, pada dasarnya netral, mengandung kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan ditakdirkan Allah.

Allah SWT berfirman dalam Alquran, yang artinya: “Kaum ‘Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azabKu dan ancaman-ancamanKu.”

“Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus.”

Baca Juga: Jarang Diketahui, Berikut 14 Manfaat Daun Jambu Biji, Salah satunya Turunkan Risiko Kanker

Baca Juga: Jadwal Net TV Hari Ini, Rabu 14 Oktober 2020, Jangan Lewatkan Timnas Indonesia VS North Macedonia

“Yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pohon korma yang tumbang dengan akar-akarnya.” (Q.S Al Qamar: 18-20). 

Imam Al Bagawi dalam tafsir Ma’alim Al Tanzil menceritakan, bahwa kejadian itu, tepat pada hari Rabu terakhir bulan Safar.

DIkutip mantrasukabumi.com dari islam.nu.or.id, bahwasannya orang Jawa pada umumnya menyebut Rabu itu dengan istilah Rabu Wekasan.

Istilah hari naas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir juga terdapat dalam hadis nabi. Tersebut dalam Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45, Rasulullah bersabda, “Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus.”

Hadits ini lahirnya bertentangan dengan hadits shahih riwayat Imam al-Bukhari sebagaimana Rasulullah SAW bersabda.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa.” (HR Imam Bukhari dan Muslim).

Jika dikompromikanpun, maknanya adalah bahwa kesialan yang terus menerus itu hanya berlaku bagi yang mempercayai.

Baca Juga: Berikut 6 Tips Rajin Membaca Alquran Setiap Hari, Banyak Manfaat dan Keutamaannya

Muktamar NU yang ketiga, menjawab pertanyaan “bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab "Lathaiful Akbar” memilih pendapat yang tidak mempercayai hari naas dengan mengutip pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam "Al-Fatawa al-Haditsiyah".

“Barang siapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali. Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).

Bagaimana dengan pandangan Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur  yang menjelaskan: banyak para Wali Allah yang mempunyai pengetahuan spiritual yang tinggi mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah  menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Oleh sebab itu hari tersebut menjadi hari yang terberat di sepanjang tahun.

Maka barang siapa yang melakukan shalat 4 rakaat (nawafil, sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali

Lalu setelah salam membaca doa, maka Allah  dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.  

Mengenai amalan-amalan tersebut di atas, mengutip KH. Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang.

Para ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat (dikutip dengan penyesuaian):

Pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shafar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.

Baca Juga: Jangan lewatkan Malam ini Live Streaming Indonesia U-19 VS Makedonia Utara di NET TV dan Mola TV

Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’. Ada anjuran dari sebagian ulama tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.

Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidaf’il bala’ al-makhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (shalat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Mengutip pandangan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftakhul Akhyar tentang hadits kesialan terus menerus pada Rabu terakhir tiap bulan, dinyatakan:

“Nahas yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada mafsadah, ada guna dan ada madharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa juga nahas bagi orang lain…artinya hadits ini jangan dianggap sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas yang harus kita hindari. Karena ternyata pada hari itu, ada yang beruntung, ada juga yang buntung. Tinggal kita berikhtiar meyakini, bahwa semua itu adalah anugerah Allah.” Wallahu ‘A’lam.**

Editor: Emis Suhendi

Tags

Terkini

Terpopuler