Tidak menyelisihi tuntunan manusia pilihan Allah Swt ini. Ibadah tersebut bukan hasil kreasi yang diada-adakan orang; baik bentuknya, tata caranya, waktunya, tempatnya, dan selainnya.
Allah Swt berfirman,
فَمَنۡ كَانَ يَرۡجُوۡالِقَآءَ رَبِّهٖ فَلۡيَـعۡمَلۡ عَمَلًا صَالِحًـاوَّلَايُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Maksudnya, hendaknya beramal dengan ikhlas untuk Allah dan benar sesuai dengan syariat Rasulullah SAW. Keduanya merupakan rukun amal yang diterima, yaitu ikhlas dan benar.
Selanjutnya Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat tersebut mengampaikan, “(Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya), maksudnya: pahala dan balasan baik dari-Nya.
(maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih), maksudnya: amal yang sesuai syariat Allah. (dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya), dan yang dikehendaki dengan amal itu adalah wajah Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya.”
Beliau Rahimahullah melanjutkan, “Kedua hal ini adalah rukun amal yang diterima, yaitu haruslah amal itu ikhlas untuk Allah,dan benar sesuai syariat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.“ (lihat Tafisr Al-Quran al-‘Adzim, Ibnu Katsir dalam tafsir ayat tersebut) hendaknya beramal dengan ikhlas untuk Allah dan benar sesuai dengan syariat Rasulullah SAW.
Keduanya merupakan rukun amal yang diterima, yaitu ikhlas dan benar.