Mengenal Masjid Jogokariyan di Yogyakarta, Dibangun Pengrajin Batik

- 28 April 2021, 10:48 WIB
Para tamu se-Indonesia datang ke Masjid Jogokariyan untuk sekadar merasakan salat berjemaah maupun studi banding
Para tamu se-Indonesia datang ke Masjid Jogokariyan untuk sekadar merasakan salat berjemaah maupun studi banding /Sarnapi/



MANTRA SUKABUMI - Masjid Jogokariyan adalah salah satu masjid bersejarah yang berada di Kampung Jogokariyan atau tepatnya di Jalan Jogokariyan, Mantrijeron, Yogyakarta.

Lokasi masjid Jogokariyan juga berdekatan dengan Pondok Pesantren Krapyak yang sama-sama memiliki nilai sejarah panjang, terutama jika dikaitkan dengan keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

 Masjid Jogokariyan didirikan oleh Pengurus Muhammadiyah Ranting Karangkajen sebagai media dakwah untuk memperkuat dan menginternalisasi nilai-nilai keislaman ke dalam diri penduduk di sekitar masjid.

Baca Juga: Ada Diskon hingga 90% Plus Voucher, Belanja Termurah di Shopee Murah Lebay

Baca Juga: Tanggapi Munarman Ditangkap Densus 88, Fahri Hamzah: Jangan Anggap Semua Musuh Negara
 
pada saat itu hampir seluruh penduduk Kampung Jogokaryan adalah kalangan “abangan” yang lebih mengutamakan kultur kejawen ketimbang kultur keislaman.

Dirangkum mantrasukabumi.com dari berbagai sumber, Masjid Jogokariyan awal mula dibangun pada tahun 1966. Pembangunan Masjid Jogokariyan tidak terlepas dari dinamika sosial yang terjadi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Pada waktu itu, Sultan Hamengkubuwono membuka Kampung Jogokariyan karena sesaknya ndalem Beteng Baluwerti di Keraton.

Maka, bergodo-bergodo Prajurit Kesatuan Keraton dipindahkan ke selatan benteng, tepatnya di utara Panggung Krapyak atau Kandang Menjangan.

Tempat itu kemudian dijadikan tempat tinggal para prajurit keraton yang sesuai dengan Toponemnya dinamakan “Kampung Jogokariyan”.

Dalam perkembangannya, Sultan Hamengkubuwono VII juga membuat kebijakan yang berhubungan dengan relokasi prajurit keraton.

Baca Juga: Mengkhawatirkan, Kasus Covid-19 di India Meroket, Petugas Tebangi Pohon Taman Kota untuk Proses Kremasi

Bedanya, Sultan Hamengkubuwono VII memindahkan mereka ke Kampung Krapyak karena adanya penyempitan jumlah prajurit keraton yang semula 750 orang menjadi hanya 75 orang.

Jumlah tersebut dipekerjakan keraton untuk kepentingan upacara saja, bukan lagi untuk perang, Para prajurit kemudian banyak yang kehilangan jabatan dan pekerjaan sebagai abdi dalem.

Selama menjadi abdi dalem, mereka yang awalnya gemar berjudi dan mabuk-mabukan kini harus mengganti mata pencahariannya sebagai petani.

Di Kampung Jogokariyan, mereka juga diberikan sepetak tanah oleh keraton.

Banyak di antara mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan pekerjaan barunya itu hingga kemudian memutuskan untuk menjual sawah mereka kepada pengusaha batik dan tenun.

 Majunya usaha batik dan tenun di Kampung Jogokariyan adalah awal mula dari potret buram kehidupan para mantan abdi dalem keraton.
 
Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi buruh di pabrik-pabrik tenun dan batik tersebut.
 
Para keturunan mereka pun demikian, banyak yang menjadi buruh di bidang industri itu. Mereka menjadi miskin di tanah mereka sendiri seiring semakin majunya usaha batik dan tenun milik para pendatang.

Baca Juga: Didekati Billy Syahputra, Memes Prameswari Akui Masih Trauma Berpacaran

Bersamaan dengan fenomena tersebut, muncullah gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang salah satunya menjadikan Kampung Jogokariyan sebagai basis pergerakannya.

 Gerakan PKI disambut dengan sangat antusias oleh para mantan abdi dalem yang kebanyakan adalah petani dan buruh yang kehidupan ekonomi-nya jauh dari dikatakan baik.
 
Hingga pada tahun 1965, meletus gerakan G30S yang banyak menangkap serta memenjarakan warga-warga sipil yang dianggap berafiliasi dengan PKI.

 Momentum tersebut adalah masa dimana Kampung Jogokariyan dikenal sebagai sarang Komunisme. Selain komunis, mereka juga dikenal sebagai penganut agama Islam abangan yang lebih banyak mempraktikan ajaran Islam kejawen.
 
Hal itu merupakan pengaruh dari lingkungan keraton yang menjadi basis kehidupan mereka sebelum pindah ke Kampung Jogokariyan.

Dibangunnya Masjid Jogokariyan di tengah latar belakang penduduk yang demikian dinilai sebagai upaya untuk menanamkan kembali nilai-nilai Islam yang kaffah kepada penduduk di Kampung Jogokariyan.

 Sebelumnya, di kampung tersebut belum memiliki masjid. Segala aktivitas keagamaan dilakukan di sebuah langgar kecil berukuran 3 x 4 meter persegi yang berada di pojok kampung.

Baca Juga: Ternyata Terdapat 3 Teori yang Jelaskan Tentang Nuzulul Quran
 
Akibatnya, ketika hari-hari istimewa bagi pemeluk agama Islam tiba, seperti bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, suasana di langgar dan di Kampung Jogokariyan sangat sepi.

Maka dengan dibangunnya Masjid Jogokariyan pada tahun 1966 bertujuan untuk menghidupkan kembali nuansa Islami di Kampung Jogokariyan.

Proses pembangunan Masjid Jogokariyan tidak terlepas dari kontribusi para pengrajin batik dan tenun yang ada di Kampung Jogokariyan.

Pengrajin batik yang tergabung dalam kelompok Koperasi Batik “Karang Tunggal” dan Koperasi Tenun “Tri Jaya” di awal bulan Juli 1966 telah berhasil membeli tanah wakaf seluas 600 m2 yang menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Jogokariyan.

Para pengusaha batik dan tenun itu sebagian besar adalah simpatisan partai politik MASYUMI dan pendukung kegiatan dakwah Muhammadiyah.

 Beberapa nama yang berjasa dalam mencetuskan gagasan pembangunan masjid adalah H. Jazuri yang juga seorang pengrajin batik dari Karangkajen yang memiliki rumah di Kampung Jogokariyan.

Singkat cerita akhirnya pada tanggal 20 September 1965, dilakukan peletakan batu pertama di tanah tersebut dengan luas bangunan masjid berukuran 9 x 9 m2 ditambah serambi 9 x 6 m2 sehingga memiliki luas total 15 x 9 m2 yang terdiri dari ruang utama dan serambi.

Baca Juga: Denny Darko Tanggapi Kisruh Rumah Tangga Sule dan Nathalie Holscher: Kurang Dibelai Aja Kang

Dalam perkembangaannya, pada bulan Agustus 1967, bersamaan dengan momentum merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia, Masjid Jogokariyan diresmikan oleh Ketua PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) Kota Yogyakarta.

Kemudian dibangun juga Islamic Center yang terdiri dari tiga lantai dimana di lantai ke-3 terdapat 11 kamar penginapan di lantai ke-2 terdapat meeting room yang digunakan sebagai badan usaha masjid. Hal itu dilakukan oleh ta’mir dalam rangka menjadikan Masjid Jogokariyan sebagai masjid yang mandiri secara finansial.***

Editor: Ridho Nur Hidayatulloh


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x