Pengamat: Pelonggaran PSBB Diragukan, Dinilai hanya Kepentingan Politik Semata

19 Mei 2020, 14:47 WIB
Ilustrasi Covid-19. //Pixabay

MANTRA SUKABUMI - Pemerintah Indonesia mulai melakukan pemetaan skenario pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mana kebijakan tersebut sudah berjalan hampir tiga bulan sejak pandemi virus corona di Indonesia.

Pelonggaran dengan dalih new normal oleh pemerintah ditolak oleh Koalisi Masyarakat Sipil dan juga Koalisi mendesak pemerintah agar tetap melakukan tes masif dan tracing secara agresif sembari meningkatkan dukungan sosial ekonomi bagi masyarakat yang terdampak virus corona.

Persiapan pemerintah mengenai pelonggaran PSBB yang setidaknya terlihat dari pernyataan Menteri BUMN tentang new normal dan siaran pers bersama Menko Polhukam, Menkeu, Mendagri, Menkes, Sesmenko Perekonomian dan Ketua Gugus Tugas Covid-19, koalisi menyoroti sejumah persoalan.

Baca Juga: NASA Berhasil Lacak Asteroid Raksasa yang Dekati Bumi, Sebabkan Keruksakan Global Jika Hantam Bumi

Menurut Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis koalisi keputusan pemerintah diambil bukan didasarkan pada data dan rasional kesehatan publik melainkan lebih pada kepentingan politik.

"Kebijakan politik untuk masalah kedaruratan kesehatan masyarakat tanpa data kesehatan masyarakat sebagai pertimbangan utama adalah wujud kegagalan pemerintah melindungi warga,"ujar Isnur pada Senin 18 Mei 2020.

Dalam kaca mata hukum, perbuatan itu adalah bukti adanya pelanggaran HAM by commission dan karenanya akibat yang menyertai kebijakan adalah menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pembuat kebijakan, termasuk kematian warga sebagai akibat pelonggaran kekarantinaan kesehatan ini.

Selain itu, untuk melancarkan kebijakan ini tampak adanya agenda setting seperti survei-survei dan penonjolan kebijakan di negara-negara lain tentang mulai dibukanya kekarantinaan kesehatan.

"Kedua hal ini mengandung sesat pikir yang disengaja untuk menggiring opini dan mem-framing warga bahwa sudah saatnya sekarang membuka kekarantinaan kesehatan" ujar Isnur.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Terima Bantuan 1 Truk dari Menteri BUMN, Ucapnya: Insya Allah Sangat Bermanfaat

"Perbandingan pastilah harus yang setara/ekuivalen misal tidak mungkin membandingkan rasa lezat kari kambing dengan buah mangga," lanjutnya

Kebijakan-kebijakan negara lain tersebut rata-rata diambil berdasarkan kurva epidemiologi Covid-19 yaitu telah menurunnya datapenularan per hari yang ditunjukkan selama 14 hari.

Kurva itu akan valid apabila ada tes massal yang akurat sesuai proporsi jumlah penduduk. Sedangkan Indonesia belum melakukan tes massal yang proporsional, tracing yang agresif seperti negara-negara yang dirujuk tersebut.

Negara-negara tersebut bahkan sudah jauh lebih lama melakukan lockdown, sesuatu yang Indonesia selalu hindari dengan berbagai alasan.

Dari data yang belum diketahui validitasnya karena sangat sedikit dibandingkan jumlah penduduk saja, kurva Indonesia belum menurun malahan naik terus. Demikian pula dengan persentase penularan per harinya.

Artikel terkait sebelumnya telah tayang di Pikiran-rakyat.com dengan judul Kurva Landai COVID-19 Indonesia Diragukan Kevalidannya, Pelonggaran PSBB hanya Kepentingan Politik

Angka tes Covid-19 Indonesia pun masih di bawah rata-rata apabila dibandingkan dengan ASEAN. Tingkat tes di Indonesia adalah 628 per 1 juta penduduk. Bandingkan dengan Singapura 30.000 per satu juta penduduk dan Malaysia yang mencapai 7500 per 1 juta penduduk.

"Belum semua provinsi memiliki laboratorium dan tenaga yang siap untuk melakukan pengetesan.

Baca Juga: Korea Utara Dilanda Kelaparan, Kanibalisme Muncul, Keluarga Dibunuh Lalu Dimakan

Rendahnya rasio pengetesan ini bisa menyulitkan kita untuk memeriksa apakah sebetulnya sudah melewati titik puncak pandemik atau belum secara nasional," ucapnnya.

Keputusan untuk melonggarkan tanpa tes yang cukup sama saja menambah beban bagi kapasitas medis lokal maupun pusat.

"Patut diperhatikan juga bahwa PSBB di berbagai daerah sangat bervariasi kedisiplinan tingkat pelaksanaan serta ada perbedaan waktu pelaksanaan seperti DKI Jakarta yang sudah mulai lebih dulu sementara Jawa Barat dan Gorontalo mulainya belakangan.

Buka tutupnya kebijakan transportasi publik turut memberi andil akan perbedaan kualitas PSBB di berbagai daerah," kata Isnur.

Oleh karena itu, menyamakan situasi Indonesia dengan negara-negara lain yang sudah jauh lebih dulu menerapkan PSBBdengan disiplin sangatlah di luar akal sehat.**(Bambang Arifianto/Pikiran-rakyat.com)

Editor: Emis Suhendi

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler