Dengan mengadopsi asumsi ini, area laju gerak lempeng yang tinggi bisa pecah secara terpisah atau bersamaan saat terjadi gempa.
Luas zona defisit slip di selatan Jawa Barat setara dengan gempa bumi bermagnitudo 8.9 dengan asumsi periode ulang gempa 400 tahun sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya.
Untuk periode ulang yang sama, zona dengan defisit slip tinggi di bagian timur setara dengan gempa bermagnitudo 8.8.
“Sedangkan jika kedua zona defisit slip tersebut pecah dalam satu kejadian gempa, maka akan dihasilkan gempa dengan kekuatan sebesar Mw 9.1,” kata Widiyantoro.
Baca Juga: Sri Mulyani Isyaratkan Anggaran Negara Tahun 2021, Terkait Kelanjutan Bantuan Sosial dan Dunia Usaha
Baca Juga: BPJS Ketenagakerjaan Serahkan 11,8 Juta Nomor Rekening BLT Rp 600 Ribu, Cek Nama Penerima Disini
Untuk memperkirakan potensi bahaya tsunami di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa, tim melakukan pemodelan tsunami dengan tiga skenario, yaitu pada segmen Jawa bagian barat, segmen Jawa bagian timur, dan segmen gabungan dari Jawa bagian barat dan timur.
Hasilnya antara lain potensi tsunami yang sangat besar dengan ketinggian maksimum 20.2 meter di dekat pulau-pulau kecil sebelah selatan Banten dan 11.7 meter di Jawa Timur.
"Tinggi tsunami bisa lebih tinggi daripada yang dimodelkan jika terjadi longsoran di dasar laut seperti yang terjadi saat Gempa Palu dengan magnitudo 7,5 pada 2018," bunyi hasil riset itu.
Kajian multidisiplin ini yang mencakup analisis data seismik dan geodetik serta pemodelan tinggi tsunami, kata Widiyantoro, secara jelas mengungkapkan adanya seismic gap di lepas pantai selatan Jawa yang dapat menjadi sumber gempa besar di masa mendatang dengan tsunami yang sangat destruktif.