Profil Gus Baha, Usia, Pendidikan, Nama Orang Tua, Inilah Biodata Ahli Tafsir Alquran dari Rembang

- 15 Juli 2021, 11:20 WIB
Profil Gus Baha, Usia, Pendidikan, Nama Orang Tua, Inilah Biodata Ahli Tafsir Alquran dari Rembang./
Profil Gus Baha, Usia, Pendidikan, Nama Orang Tua, Inilah Biodata Ahli Tafsir Alquran dari Rembang./ /Tangkap layar tayangan youtube/Najwa Shihab



MANTRA SUKABUMI - K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha.

Gus Baha kelahiran pada 15 Maret 1970 di Sarang, Rembang, Jawa Tengah.

Gus Baha adalah salah satu ulama Nahdlatul Ulama yang berasal dari Rembang.

Baca Juga: Gus Baha Ungkap Cara Mudah Tingkatkan Imunitas Tubuh untuk Lawan Covid-19 yang Dicontohkan Nabi

Gus Baha dikenal sebagai salah satu ulama ahli tafsir yang memiliki pengetahuan mendalam seputar Alquran.

Gus Baha merupakan salah satu murid dari ulama kharismatik, K.H. Maimun Zubair, dirangkum mntrasukabumi.com dari berbagai sumber,

Gus Baha merupakan putra dari seorang ulama pakar Alquran dan juga pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA yang bernama KH. Nursalim al-Hafizh dari Narukan, Kragan, Rembang.

Ayah Gus Baha yakni KH. Nursalim merupakan murid dari KH. Arwani al-Hafidz Kudus dan KH. Abdullah Salam al-Hafidz Kajen Pati, yang nasabnya bersambung kepada para ulama besar.

Dalam menjaga sekaligus membumikan Alquran, ayah Gus Baha’ bersama dengan sahabatnya Gus Miek atau KH. Hamim Jazuli pada waktu itu beliau berdua membuat gerakan.

yaitu dengan menyelenggarakan semaan Alquran secara keliling dari satu tempat ke tempat lain.

Gerakan tersebut pada awalnya diberi nama Jantiko atau Jamaah Anti Koler.

 Nama gerakan Jantiko kemudian mengalami perubahan menjadi Mantab atau Majelis Nawaitu Topo Broto, lalu berubah lagi menjadi gerakan Dzikrul Ghafilin.

Dari silsilah keluarga ayah, Gus Baha merupakan generasi ke-4 ulama-ulama ahli Alquran.

Sedangkan dari silsilah keluarga ibu, Gus Baha menjadi bagian dari keluarga besar ulama Lasem, dari Bani Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sarang, Gus Baha menikah dengan seorang anak Kiai yang bernama Ning Winda pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.

Ada cerita menarik dengan pernikahan beliau. Jadi sebelum lamaran, Gus Baha’ menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu.

Beliau mengutarakan bahwa kehidupan beliau bukanlah model kehidupan yang glamor, melainkan kehidupan yang sangat sederhana.

Beliau berusaha meyakinkan calon mertuanya untuk berpikir ulang atas rencana pernikahan tersebut.

Tentu maksud beliau agar mertuanya tidak kecewa di kemudian hari. Namun mertuanya hanya tersenyum dan mertuanya hanya mengatakan "klop" alias sami mawon kalih kulo atau yang berarti sama saja dengan saya.

Kesederhanaan Gus Baha dibuktikan saat beliau berangkat ke Pondok Pesantren Sidogiri untuk melangsungkan upacara akad nikah yang telah ditentukan waktunya.

Gus Baha’ berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menumpang bus kelas ekonomi. Kesederhanaan beliau bukanlah sebuah kebetulan, namun merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil.

Setelah menikah, Gus Baha’ mencoba hidup mandiri dengan keluarga barunya. Gus Baha’ menetap di Yogyakarta.

Selama di Yogya, beliau menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecilnya.

Semenjak Gus Baha’ menetap di Yogyakarta, banyak santri-santri beliau di Karangmangu yang merasa kehilangan.

Hingga pada akhirnya mereka menyusul Gus Baha’ ke Yogya dan urunan atau patungan untuk menyewa rumah di dekat rumah beliau. Tiada tujuan lain selain untuk tetap bisa mengaji kepada beliau.

Baca Juga: Gus Baha Ungkap Cara Mudah Tingkatkan Imunitas Tubuh untuk Lawan Covid-19 yang Dicontohkan Nabi

Ada sekitar 5 atau 7 santri mutakhorijin al-Anwar maupun MGS yang ikut ke Yogya. Saat di Yogya inilah kemudian banyak masyarakat sekitar rumah Gus Baha’ yang akhirnya minta ikut ngaji kepada beliau.

Gus Baha' kecil dididik belajar dan menghafalkan al-Qur'an secara langsung oleh ayahnya dengan menggunakan metode tajwid dan makhorijul huruf secara disiplin.

Hal ini sesuai dengan karakteristik yang diajarkan oleh guru ayahnya, yaitu KH. Arwani Kudus. Kedisiplinan tersebut membuat Gus Baha’ di usianya yang masih muda, mampu menghafalkan Al-Qur'an 30 Juz beserta Qira'ahnya.

Menginjak usia remaja, ayahnya menitipkan Gus Baha' untuk mondok dan berkhidmah kepada Syaikhina KH. Maimoen Zubairdi Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang.

Pondok al-Anwar tepat berada sekitar 10 km arah timur dari rumahnya.

Di Pondok Pesantren al-Anwar inilah keilmuan Gus Baha’ mulai menonjol seperti ilmu hadits, fiqih, dan tafsir.

Dalam ilmu hadis, Gus Baha’ mampu mengkhatamkan hafalan Shahih Muslim lengkap dengan matan, rowi dan sanadnya.

Selain Sahih Muslim beliau juga mengkhatamkan dan hafal isi kitab Fathul Mu'in dan kitab-kitab gramatika bahasa arab seperti 'Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik.

Bahkan menurut sebuah cerita, dengan banyaknya hafalan yang dimiliki oleh Gus Baha’, menjadikan beliau sebagai santri pertama al-Anwar yang memegang rekor hafalan terbanyak.

Selain itu, menurut cerita lain juga menyebutkan bahwa, ketika akan mengadakan forum musyawarah atau bahtsul masa’il di pondok banyak teman-teman Gus Baha’ yang menolak kalau Gus Baha’ untuk ikut dalam forum tersebut.

 sebab beliau dianggap tidak berada pada level santri pada umumnya karena kedalaman ilmu, keluasan wawasan dan banyaknya hafalan yang dimiliki oleh beliau.

Maka, atas dasar kedalaman keilmuan yang dimiliki Gus Baha’, hal ini yang kemudian membuat Gus Baha’ diberi kepercayaan untuk menjadi Rois Fathul Mu'in dan Ketua Ma'arif di jajaran kepengurusan Pesantren al-Anwar.

Selain menonjol dengan keilmuannya, beliau juga merupakan sosok santri yang dekat dengan kiainya.

Dalam berbagai kesempatan, beliau sering mendampingi guru beliau Syaikhina KH. Maimoen Zubair untuk berbagai keperluan.

Mulai dari sekedar berbincang santai, hingga urusan mencari ta'bir dan menerima tamu-tamu ulama-ulama besar yang berkunjung ke al-Anwar.

Hingga beliau dijuluki sebagai santri kesayangan Syaikhina KH. Maimoen Zubair.

Dalam sebuah cerita, beliau pernah dipanggil untuk mencarikan ta'bir tentang suatu persoalan oleh Syaikhina.

Karena saking cepatnya ta'bir itu ditemukan tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksud, hingga Syaikhina pun terharu dan ngendikan "Iyo Ha'... Koe pancen cerdas tenan" (Iya Ha'... Kamu memang benar-benar cerdas).

Gus Baha' juga kerap dijadikan contoh teladan oleh Syaikhina saat memberikan mawa'izh di berbagai kesempatan tentang profil santri ideal.

"Santri tenan iku yo koyo Baha' iku...." (Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha' itu....) begitu kurang lebih ngendikan Syaikhina.

Selain mengeyam pendidikan di Pondok Pesantren al-Anwar Rembang, pernah suatu ketika ayahnya menawarkan kepada Gus Baha’ untuk mondok di Rushoifah atau Yaman.

Namun Gus Baha’ menolaknya dan lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamaternya Madrasah Ghozaliyah Syafi'iyyah PP. al-Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.

Setelah ayahnya wafat pada tahun 2005, Gus Baha' melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan di pondoknya, pondok pesantren LP3IA Narukan.

Saat menjadi pengasuh di pondoknya, banyak santri yang ada di Yogyakarta merasa kehilangan atas kepulangan beliau ke Narukan.

 Akhirnya para santri pergi sowan dan meminta beliau kerso kembali ke Yogya. Hingga pada akhirnya Gus Baha’ bersedia namun hanya satu bulan sekali.

Baca Juga: Tips Jaga Imunitas Tubuh dari Gus Baha, Pilih Ceria atau Cemberut?

Selain menjadi pengasuh di pondoknya dan mengisi pengajian di Yogyakarta, Gus Baha’ juga diminta untuk mengisi pengajian tafsir al-Qur'an di Bojonegoro, Jawa Timur.

Adapun untuk waktunya dibagi-bagi, di Yogya minggu terakhir, sedangkan di Bojonegoro minggu kedua setiap bulannya. Hal tersebut, Gus Baha’ lakukan secara rutin sejak 2006 hingga sekarang.***

Editor: Dea Pitriyani


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah