Wajib Tahu Makna Iman dan Ihtisaban dalam Hadits Rasulullah Saat Puasa Ramadhan

12 April 2021, 08:15 WIB
Ilustrasi//Wajib Tahu Makna Iman dan Ihtisaban dalam Hadits Rasulullah Saat Puasa Ramadhan /Pixabay/İbrahim Mücahit Yıldız

MANTRA SUKABUMI - Puasa di bulan suci Ramadhan harus didasari iman dan Ihtisaban, sebagaimana hadits Rasulullah SAW.

Makna iman, dimaksud dalam firman Allah SWT bahwa puasa diwajibkan atas orang-orang merasa memiliki iman, dan karenanya harus Ihtisab ketika berpuasa.

Puasa yang dikerjakan berdasarkan iman dan Ihtisaban akan menghapus dosa yang telah lalu, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, yang akan dijelaskan nanti.

Baca Juga: Ada Diskon hingga 90% Plus Voucher, Belanja Termurah di Shopee Murah Lebay

Baca Juga: Waspada, Ternyata Tidur Gunakan Kipas Angin Bisa Sebabkan 5 Bahaya ini

Dikutip mantrasukabumi.com dari berbagai sumber, kaitannya dengan makna iman dan Ihtisaban di dalam hadits Rasulullah SAW di dalam menjalankan ibadah puasa.

Diriwayatkan oleh Sayyidina Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu, dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ [وفي رواية]: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

[رواه البخاري ومسلم]

Artinya, “Siapa saja yang berpuasa Ramadhan dengan dasar iman dan Ihtisaban, maka dosanya yang lalu pasti diampuni.”

Di dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang melakukan qiyam di malam hari Ramadhan, dengan dasar iman dan Ihtisaban, maka dosanya yang lalu pasti diampuni.” (Hr. Bukhari dan Muslim).

Baca Juga: Innalillahi, Setelah Kalah dari Persib, Persebaya Kehilangan Pemain Legenda: Semoga Amalnya Diterima

Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar radhiallahu’anhu, menuturkan dalam kitabnya Fath al-Bari sebagai berikut:

اَلْمُراَدُ بِالإِيْمَانِ: الاِعْتِقَادُ بِفَرْضِيَّةِ صَوْمِهِ. وَبِالاِحْتِسَابِ: طَلَبُ الثَّوَابِ مِنَ اللهِ تَعَالَى.

Artinya, “Maksud dari lafadz, “IMANAN” adalah meyakini kewajiban puasanya. Sedangkan maksud lafadz, “IHTISABAN” adalah mencari pahala dari Allah SWT.

Al-Manawi menjelaskan, dalam kitab Faidh al-Qadir, sebagai berikut:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً: تَصْدِيْقاً بِثَوَابِ اللهِ أَوْ أَنَّهُ حَقٌّ، وَاحْتِسَاباً لأَمْرِ اللهِ بِهِ، طَالِباً الأَجْرَ أَوْ إِرَادَةَ وَجْهِ اللهِ، لاَ لِنَحْوِ رِيَاءَ، فَقَدْ يَفْعَلُ المُكَلَّفُ الشَّيْءَ مُعْتَقِدًا أَنَّهُ صَادِقٌ لَكِنَّهُ لَا يَفْعَلُهُ مُخْلِصاً بَلْ لِنَحْوِ خَوْفٍ أَوْ رِيَاءَ

Artinya, “Siapa saja yang puasa Ramadhan dengan “IMANAN” yaitu membenarkan pahala dari Allah, bahwa pahala itu benar, dan dengan “IHTISABAN” semata karena menunaikan perintah Allah,

dengan mengharap pahala, atau berharap kepada Allah, bukan untuk tujuan ria’ Sebab, kadang seorang Mukallaf melakukan sesuatu, dia yakin bahwa itu benar, tetapi dia tidak melakukannya dengan ikhlas, namun karena takut atau riya’.”.

Baca Juga: Listrik dan Gas Rencana akan Naik Harga, LaNyalla Mattalitti: Pemerintah Harap Tinjau Ulang

Baca Juga: Pangeran Philip akan Dimakamkan pada 17 April, ini Sederet Aturan dan Tata Caranya

Imam an-Nawawi Rahimahullah Ta'ala juga menjelaskan hadits di atas dengan menyatakan:

مَعْنَى إِيْمَاناً: تَصْدِيْقاً بِأَنَّهُ حَقٌّ مُقْتَصِدٌ فَضِيْلَتُهُ، وَمَعْنَى اِحْتِسَاباً، أَنَّهُ يُرِيْدُ اللهَ تَعَالَى لاَ يَقْصُدُ رُؤْيَةَ النَّاسِ وَلاَ غَيْرَ ذَلِكَ مِمَّا يُخَالِفُ الإِخْلاَصَ

Artinya, “Makna “IMANAN” adalah membenarkan, bahwa itu memang benar, dengan nilai keutamaan. Sedangkan makna “IHTISABAN”

adalah dia menginginkan Allah SWT, bukan berharap dilihat manusia, dan bukan yang lain. Dengan sesuatu yang menyalahi keikhlasan.”

Al-Hafidz Ibnu Jauzi menambahkan:

قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا” أيْ تَصْدِيْقًا بِالمَعْبُوْدِ الآمِرِ لَهُ، وَعِلْمًا بِفَضِيْلَةِ الْقِيَامِ وَوُجُوْبِ الصِّيَامِ، وَخَوْفًا مِنْ عِقَابِ تَرْكِهِ، وَمُحْتَسِبًا جَزِيْلَ أَجْرِهِ، وَهَذِهِ صِفَةُ المُؤْمِنِ [كشف المشكل في حديث الصحيحين]

Artinya, “Sabda Nabi Muhammad SAW “IMANAN” dan “IHTISABAN” maksudnya adalah membenarkan Dzat yang Disembah, yang Maha Memberi Perintah kepadanya,

dengan meyakini keutamaan qiyamu lailnya, dan kewajipan puasanya. Takut terhadap siksa-Nya ketika meninggalkannya, serta berharap pahala-Nya yang berlimpah. Inilah sifat orang Mukmin.”

(Kasyf al-Musykil fi Hadits as-Shahihain).***

 

Editor: Fauzan Evan

Tags

Terkini

Terpopuler