Pandangan Agama Terhadap Tradisi dan Toleransi Beragama di Bulan Suci Ramadhan

- 4 April 2022, 05:15 WIB
Pandangan Agama Terhadap Tradisi dan Toleransi Beragama di Bulan Suci Ramadhan
Pandangan Agama Terhadap Tradisi dan Toleransi Beragama di Bulan Suci Ramadhan /

MANTRA SUKABUMI - Bulan Ramadhan merupakan bulan yang istimewa bagi umat muslim di seluruh dunia.

Pada bulan Ramadhan seluruh umat muslim di dunia akan secara serentak melaksanakan ibadah puasa dari terbit Pajar hingga matahari tenggelam.

Sudah sepatutnya orang-orang non muslim yang ada disekitar akan bertoleransi dan menghargai mereka yang sedang melaksanakan ibadah shaum Ramadhan.

Baca Juga: Doa Ramadhan 1443 H Hari ke-2, Lengkap Tulisan Arab, Latin Serta Artinya

Begitu pula kita selaku umat muslim akan melakukan hal yang sama terhadap kewajiban dan peribadatan mereka.

Orang yang beriman dan bertakwa sudah selayaknya bertoleransi terhadap tradisi agama orang lain.

Iman dan takwa yang kita miliki ini merupakan sebuah anugerah yang tidak semua umat manusia memilikinya.

Kita harus bersyukur, walaupun terpaut jarak yang jauh dan beda zaman dengan Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah ilahiyah, namun kita dianugerahkan kesempatan hidup dalam Islam.

Sebagai agama samawi pamungkas yang sempurna dan agama yang diridhoi oleh Allah swt. Hal ini ditegaskan dalam Qur’an surat Al-Maidah ayat 3:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

Artinya: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu”

Manisnya Islam yang kita rasakan saat ini tidak akan bisa lepas dari jasa, wasilah, dan lembutnya dakwah yang disampaikan Wali Songo di penjuru nusantara ini.

Baca Juga: Niat Puasa Ramadhan Satu Bulan Penuh dan Harian serta Jadwal Imsakiyah Senin 4 April 2022

Mereka mampu memasukkan nilai-nilai Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin pada budaya dan tradis bangsa Indonesia.

Mereka mampu meyakinkan para leluhur kita dengan dakwah penuh hikmah yang memang sudah dicontohkan oleh nabi Muhammad saw dan juga sudah ditegaskan serta diperintahkan oleh Allah.

Hal ini termaktub dalam Surat An-Nahl:125:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.

Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”.

Dalam ayat ini, kita harus memahami bahwa penting berdakwah dengan cara yang baik. Karena hal baik yang didakwahkan dengan cara tidak baik, tentu tidak akan mendapatkan hasil yang baik.

Dalam konteks dakwah di Indonesia, kita harus menyadari bahwa Indonesia memiliki keragaman suku, budaya, tradisi, bahasa, dan agama. Sehingga menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk mengedepankan dakwah dengan hikmah di tengah kebhinekaan Indonesia yang menjadi takdir dan sunnatullah.

Toleransi menjadi kunci terciptanya kehidupan yang damai. Perbedaan-perbedaan yang ada di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat tidak boleh menjadi pemicu konflik akibat arogansi dan prinsip merasa paling benar sendiri.

Perbedaan-perbedaan yang ada, sudah seharusnya menjadi kekuatan untuk bersama membangun kehidupan yang harmonis penuh dengan toleransi serta tidak saling menyakiti dan menyalahkan keyakinan dan kepercayaan orang lain.

Baca Juga: Inilah Keutamaan Beri Makanan Buka Puasa kepada Orang Lain, Akan Dimudahkan Masuk Surga

Dilansir mantrasukabumi.com dari akun blogger Toriq.id pada Senin, 4 April 2022, Allah swt berfirman dalam Qur’an surat Al-An’am:

108 وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.

Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”

Ayat ini secara khusus ditujukan kepada kita, umat Islam, tentang bagaimana seharusnya kita bersikap menghadapi sesembahan orang di luar Islam.

Ayat ini diturunkan saat suatu ketika orang-orang Islam mencaci-maki berhala, sesembahan orang-orang kafir, kemudian mereka dilarang Allah melalui nabi untuk tidak memaki-maki itu.

Dalam kisah yang diriwayatkan oleh 'Abd ar-Razzaq dari Qatadah ini, Allah melarang kaum Muslimin memaki berhala yang disembah kaum musyrik untuk menghindari makian terhadap Allah dari orang-orang musyrik.

Karena mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Allah dan sebutan-sebutan yang seharusnya diucapkan untuk-Nya. Maka bisa terjadi mereka mencaci-maki Allah dengan kata-kata yang menyebabkan kemarahan orang-orang mukmin.

Dari ayat ini kita bisa mengambil hikmah bahwa kita dilarang melakukan perbuatan yang bisa menimbulkan perbuatan yang memunculkan akibat buruk lainnya. Kita juga dilarang melakukan sesuatu yang menyebabkan orang-orang di luar Islam semakin tambah menjauhi kebenaran Islam.

Allah memberikan penjelasan bahwa Dia menjadikan setiap umat menganggap baik perbuatan mereka sendiri.

Hal ini berarti bahwa ukuran baik dan tidaknya sesuatu perbuatan atau kebiasaan, adakalanya timbul dari penilaian manusia sendiri.

Apakah itu merupakan perbuatan atau kebiasaan yang turun-temurun ataupun perbuatan serta kebiasaan yang baru saja timbul.

Baca Juga: Inilah Keutamaan Beri Makanan Buka Puasa kepada Orang Lain, Akan Dimudahkan Masuk Surga

Dalam konteks kebinekaan yang ada di Indonesia, Islam hadir dalam kesejukan dan mampu membuat perombakan besar dalam tatanan kehidupan di nusantara.

Perubahan ini tidak terjadi secara instan atau serta merta. Butuh waktu bagi Wali Songo untuk memasukkan nilai-nilai Islam. Akselerasi dakwah pun akhirnya dilakukan dengan menjadikan tradisi sebagai salurannya.

Media gamelan, seni wayang, dan berbagai tradisi bangsa Indonesia mampu diwarnai dengan keislaman dan ketauhidan dengan tidak serta merta langsung menyalahkan sepenuhnya tetapi juga tidak membenarkan semuanya.

Dakwah yang dicontohkan Wali Songo mampu mengganti muatan-muatan tradisi lokal yang bertentangan dengan ajaran dasar Islam, tanpa memicu polemik dan konflik terlebih penentangan yang mengakibatkan pertumpahan darah.

Kita pun wajib bersyukur karena keberhasilan dakwah Wali Songo dan toleransi bangsa Indonesia yang mampu terjaga sampai saat ini, menjadikan Indonesia percontohan dunia dalam kerukunan.

Banyak tempat ibadah yang berdekatan bahkan berdampingan di Indonesia dan umatnya hidup rukun dan damai. Keragaman dan kedamaian seperti ini sangat langka ditemukan di berbagai penjuru dunia.

Baca Juga: Ceramah Pendek Kultum Ramadhan 2022 Materi Sanlat Tema Keutamaan Sedekah di Bulan Ramadhan

Dengan kondisi damai seperti ini, kita bisa merasakan sendiri ketenangan dan kekhusuan beribadah tanpa ada gangguan konflik dan peperangan.

Anugerah ini harus kita syukuri dengan menjaga serta meningkatkan toleransi pada setiap perbedaan.

Jangan karena ulah segelintir orang yang merasa paling benar sendiri, kita ikut-ikutan bertindak intoleran dan terprovokasi sehingga memunculkan ketidakharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.

Semoga Allah swt senantiasa memberikan perlindungan dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita mampu menyelaraskan antara Islam, tradisi, dan toleransi dalam kehidupan kita sehari-hari. Amin.***

Editor: Emis Suhendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah