Kegalauan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendapatkan jawabannya pada malam hari berikutnya, yakni pada malam hari 9 Dzulhijjah, bahwa ia benar-benar diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anak kesayangannya yang bernama Isma‘il.
Karenanya, tanggal 9 Dzulhijjah yang kita semua, umat Islam disunnahkan berpuasa disebut dengan “hari ‘Arafah” yang berarti “pengetahuan”, yakni hari di mana Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendapatkan jawaban atau pengetahuan atas perintah Allah yang ia ragukan sebelumnya.
Dengan dasar ketaatan kepada Allah yang sangat tulus, dengan latar belakang rasa cinta kepada Tuhan yang mengalahkan segalanya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam benar-benar mantap dan bertekad akan menjalankan perintah-Nya, yaitu menyembelih Isma‘il, orang yang paling ia sayangi.
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد
Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah, kita tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam saat itu.
Seorang ayah yang sudah lama sekali menanti memiliki keturunan, namun ketika dikaruniai anak melalui pernikahannya dengan Dewi Hajar, anak yang beliau impi-impikan itu harus disembelih dengan tangannya sendiri, padahal Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memiliki anak ketika usianya sudah sangat sepuh, yakni 86 tahun.
Dalam QS. Ash-Shâffât 100-101 diceritakan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam meminta kepada Allah diberi keturunan yang saleh, lalu Allah mengabulkannya dengan memberi anak yang sabar.
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ
Kita juga tidak bisa membayangkan bagaimana dialog Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan istrinya ketika meminta izin untuk menjalankan perintah Allah, yakni menyembelih anaknya.