أما بعد
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Apakah hikmah dari disyariatkannya puasa Tasu’a dan ‘Asyura? Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, ”Ulama dari kalangan sahabat kami (yaitu para ulama madzhab Syafi’i) dan selain mereka menyebutkan hikmah dianjurkannya melaksanakan puasa Tasu’a sebagai berikut:
Pertama: tujuannya adalah untuk menyelisihi orang-orang Yahudi yang membatasi pada hari kesepuluh saja.
Kedua: untuk menyambung puasa ‘Asyura dengan puasa lain sebagaimana dilarangnya puasa hari Jum’at saja. Yang demikian disebutkan oleh al-Khattabi dan yang lainnya.
Ketiga: kehati-hatian dalam berpuasa pada hari ‘Asyura, dikhawatirkan kurangnya hilal dan terjadi kekeliruan sehingga dihitung hari kesembilan padahal yang sebenarnya hari kesepuluh.”
Yang paling kuat dari tinjauan-tinjauan tersebut adalah yang bertujuan menyelisihi Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Rasulullah ﷺ melarang tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab dalam banyak hadits, seperti sabda beliau tentang ‘Asyura, ”Jika aku hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa juga pada hari kesembilan.” [Al-Fataawaa al-Kubro Juz 6 Saddu adz-Dzaroi’ al-Mufdhiah Ilal Maharim]
Ibnu Hajar rahimahullah dalam komentarnya mengenai hadits, ”Jika aku hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa juga pada hari kesembilan.” mengatakan, ”Tekad Nabi ﷺ untuk berpuasa hari kesembilan mengandung makna agar jangan membatasi pada hari itu saja.
Akan tetapi ditambah dengan hari kesepuluh, bisa karena pertimbangan kehati-hatian, bisa juga untuk menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nasrani, dan alasan ini yang lebih kuat. Pendapat inilah yang diisyaratkan sebagian riwayat Muslim. [Fathul Baari 4/245][i]