Soal Pemerintah Impor Gula 2021, Faisal Basri: Manisnya Gula hingga Dapat Rente Triliunan

6 April 2021, 11:17 WIB
Ekonom senior Faisal Basri.* //ANTARA

MANTRA SUKABUMI - Ekonom senior yakni Faisal Basri menyoroti soal impor gula, menurut Faisal Basri bahwa di tengah pandemi Covid-19 dan ketika impor anjlok, justru impor gula melonjak dari 4,09 juta ton tahun 2019 menjadi 5,54 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah.

Pengamatan Faisal Basri bahwa industri makanan dan minuman–sebagai pengguna gula terbanyak–pertumbuhannya anjlok dari 7,8 persen tahun 2019 menjadi hanya 1,6 persen tahun 2020.

Tidak ada tanda-tanda pula terjadi lonjakan konsumsi gula rumah tangga dan Ekonom Faisal Basri tersebut menyebutkan dengan impor gula dapat rente hingga triliunan jumlahnya.

Baca Juga: Ada Diskon hingga 90% Plus Voucher, Belanja Termurah di Shopee Murah Lebay

Baca Juga: Kecam Yahya Waloni Doakan Qurash Shihab Cepat Mati, Zulfikar Akbar: Aku Siap Adu Pukul

"Manisnya Impor Gula, Dapat “Rente” Bisa Puluhan Triliun," ucap Faisal Basri sebagaimana dikutip mantrasukabumi.com dari akun Twiteernya @FaisalBasri pada 6 April 2021.

Menurut Faisal Basri bahwa sejak zaman Kolonial hingga tahun 1967, Indonesia merupakan negara pengekspor gula.

Bahkan Indonesia sempat sebagai pengekspor gula terpandang, nomor dua setelah Kuba, dan bertahun-tahun gula menjadi sumber penerimaan ekspor terbesar bagi penjajah Belanda.

Sentra produksi utama adalah Jawa Timur di sepanjang Sungai Brantas. Kini Jawa Timur masih tetap dominan, menyumbang sekitar separuh dari produksi gula nasional.

Ironisnya, negeri subur dengan ungkapan “gemah ripah loh jinawi,” sejak 2016 menjadi pengekspor gula terbesar sejagat.

Baca Juga: Tanggapi Said Aqil Soal Dosen Tidak Perlu Banyak Ajar Aqidah, Syamsi Ali: Cara Berfikir ini Kontra Logika

"Memang produksi gula nasional turun, namun hanya 100 ribu ton, dari 2,23 juta ton tahun 2019 menjadi 2,13 juta ton tahun 2020. Jadi jauh lebih kecil daripada kenaikan volume impor yang mencapai 1,45 juta ton," ucap Faisal Basri.

Keran impor dibuka lebar-lebar oleh pemerintah boleh jadi untuk meredam lonjakan harga rata-rata yang sempat menembus Rp15.000/kg pada April 2020, bahkan di beberapa daerah mencapai Rp22.000/kg.

Padahal harga eceran tertinggi (HET) yang dipatok pemerintah sebesar Rp12.500/kg. Boleh jadi pula karena stok gula menipis, meskipun Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyatakan stok gula pada awal tahun 2020 sebanyak 1,35 juta ton sudah mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat hingga musim giling mendatang.

Berdasarkan laporan USDA, stok gula Indonesia pada September 2019 sebesar 2,30 juta ton, sedangkan pada September 2020 sebesar 1,95 juta ton.

Kesenjangan harga eceran dibandingkan dengan harga gula dunia kian melebar. Pada awal 2012 harga eceran di Indonesia 2,3 kali lebih tinggi dari harga dunia. Pada pertengahan 2016 naik menjadi 2,8 kali.

Baca Juga: Sentil Mendagri Tito Karnavian, Natalius Pigai: Papua Phobia dan Rasisme

Demikian pula pada awal 2021. Kesenjangan paling lebar terjadi pada April 2020 yaitu 4,4 kali. Lonjakan harga eceran kala itu justru terjadi ketika harga dunia mengalami penurunan.

"Rente Luar Biasa Nan Menggiurkan," tutur Faisal Basri.

Harga gula mentah yang menjadi referensi di pasar New York adalah Raw Sugar #11. Pada harga penutupan 31 Maret 2021 tercatat sebesar US¢14,77 per pound atau US$325,6 per ton.

Ditambah dengan ongkos transport, asuransi, dan pengolahan senilai US$200 per ton, maka harga di pabrik gula rafinasi menjadi US$525,6 per ton.

Dengan kurs tengah BI (JISDOR) pada 31 Maret (Rp14.572/US$), harga per kg adalah Rp7.959.

Jika pemerintah menugaskan pabrik gula rafinasi menjual langsung ke pasar, setidaknya keuntungan yang diperoleh mencapai Rp2.000 per kg.

Harga untuk industri besar tentu saja lebih murah karena kontrak langsung dan mereka mengikuti pergerakan harga dunia, namun keuntungannya tidak jauh berbeda dibandingkan dengan menjual langsung ke pasar lewat distributor.

Dengan produksi kesebelas pabrik gula rafinasi sekitar 3 juta ton, maka keuntungan totalnya adalah Rp 6 triliun.

Baca Juga: Febri Diansyah Apresiasi Tim KPK Tangkap Satu Buron: Semoga Ia Bicara Terbuka, agar Membongkar Pelaku Lain

Pukul rata, setiap pabrik menikmati laba sebanyak Rp545 miliar. Teluk Intan Group dan Bank Index Group yang masing-masing memiliki tiga pabrik tentu saja menikmati rente paling besar.

Martua Sitorus yang grupnya memiliki dua pabrik mengantongi lebih dari Rp1 triliun. Sisanya dinikmati oleh Group milik Tommy Winata, Ali Sanjaya, dan Olam Group Singapura.

BUMN tak ketinggalan meraup rente menggiurkan dari lisensi mengimpor gula rafinasi (white sugar #5) untuk dijual langsung ke pasar.

Harga di pasar lelang ICE London per 31 Maret 2021 adalah USD417 per ton. Katakanlah ongkos angkut plus bongkar-muat ditambah asuransi mencapai 20 persen dari nilai barang. Maka harga per ton sampai di pelabuhan tujuan adalah USD500.4, sehingga harga perolehan sebesar Rp7.292 per kg.

Setelah memperhitungkan ongkos distribusi dan margin pedagang serta biaya bunga bank sebesar sebesar Rp3.000, maka keuntungan bersih importir sebesar Rp2.208, namun Faktanya, harga eceran kerap di atas Rp12.500, sehingga potensi keuntungannya lebih besar lagi.

Bagi BUMN pemegang lisensi impor yang memiliki pabrik gula berbasis tebu, insentif untuk mengimpor lebih menggiurkan ketimbang menghasilkan gula dari tebu petani.

Jika dapat lisensi impor satu juta ton, maka laba yang diraup setidaknya Rp2 triliun. Buat apa berkeringat tetapi labanya kecil ketimbang bermodal secarik kertas sakti dapat triliunan rupiah.

Baca Juga: Program Bantuan BPUM Rp1,2 Juta bagi UMKM Segera Bergulir, Begini Tanggapan Anggota DPR RI

Peluang praktik berburu rente terbuka luas karena pemerintah mengada-ada. Dunia hanya mengenal dua jenis gula, yaitu gula mentah (raw sugar) dan gula rafinasi (refined sugar) atau gula putih (white sugar) atau centrifugal sugar.

Di Indonesia ada satu lagi, yaitu gula kristal putih (GKP) yang yang notabene serupa dengan refined sugar (pemerintah memberi nama gula kristal rafinasi atau GKR).

Bedanya, GKP diproduksi oleh pabrik gula domestik dari tebu sendiri maupun tebu rakyat dan GKR diproduksi dari gula mentah yang diimpor. Jadi pemerintah menciptakan dua pasar untuk produk serupa.

Alih-alih meluruskan salah kaprah, pemerintah justru baru-baru ini membangun tembok tebal antara GKP dan GKR dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 3 Tahun 2021. Pada Pasal 6 tercantum:

(1) Perusahaan Industri gula kristal rafinasi hanya dapat memproduksi Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar).

(2) Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat memperdagangkan Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar) hasil produksinya kepada Industri Pengguna sebagai Bahan Baku dan/atau bahan penolong Industri.

Sebaliknya, pada Pasal 7 menyatakan: “Perusahaan Industri gula berbasis tebu hanya dapat memproduksi Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar).

Menurut para petinggi Kementerian Perindustrian, Permen itu bertujuan untuk menghindari rembesan. Bukankah rembesan terjadi karena perlakuan pemerintah sendiri yang membedakan dua produk (GKP dan GKR) yang notabene serupa? Buatlah kebijakan yang justru menciptakan satu pasar gula, bukan sebaliknya justru mempertebal pemisahan antara GKR dan GKP.

Baca Juga: Selain Lezat, Inilah 5 Manfaat Durian untuk Kesehatan, Salah Satunya Kurangi Risiko Kanker

Di kebanyakan negara, di negara paling liberal sekalipun seperti Amerika Serikat, kebijakan pemerintah bertujuan untuk melindungi dan memberdayakan petani. Di negeri yang memiliki Pancasila, petani malah termarjinalkan, tidak menjadi roh dari kebijakan pemerintah.

Bagaimana menyelesaikan masalah pergulaan dengan tuntas? Pertama, petani tebu dibantu untuk menggunakan bibit unggul dan segala penunjangnya agar rendemen bisa ditingkatkan setidaknya 50 persen dari yang sekarang sekitar 7 persen. Kedua, merestrukturisasi pabrik gula agar terintegrasi sehingga menghasilkan gula dari tebu rakyat maupun tebu sendiri dan juga dari raw sugar yang diimpor.

Dengan begitu, operasi pabrik bisa sepanjang tahun, sehingga ongkos giling lebih murah. Karena upah giling lebih murah, bagi hasil gula untuk petani meningkat dari 66 persen yang berlaku sekarang.

Dengan dua jurus itu saja, kesejahteraan petani bisa naik hampir dua kali lipat dan harga gula di tingkat konsumen berangsur turun mendekati harga dunia. Upaya ini butuh perubahan pola pikir dari mau gampangan dapat rente (value extraction) yang dinikmati segelintir pengusaha menjadi olah otak untuk menciptakan nilai tambah bagi maslahat rakyat banyak (value creation).***

 

 

Editor: Ridho Nur Hidayatulloh

Tags

Terkini

Terpopuler