Belajar dari Wuhan China, Happy Hypoxia pada Covid-19 Sudah Lama Terjadi dan Pahami Gejalanya

26 September 2020, 15:10 WIB
Ilustrasi corona. */NET /

MANTRA SUKABUMI – Happy Hypoxia pada Covid-19 di Indonesia sudah ditemukan sejak Maret 2020, namun pada saat itu para ahli dan tim medis Indonesia belum memahami karena masih terbatas informasi. Bahkan di Wuhan pun hal tersebut sudah ditemui pada bulan Maret 2020, namun semua masih belum memahami.

Hal ini bisa dimaklumi karena para ahli dan medis belum ada penemuan yang resmi baik di Indonesia maupun di dunia. Bahkan kasus dengan gejala seperti itu belum ada rekam medis yang memadai. Tentu ini menjadi pelajaran berharga buat dunai kesehatan khsususnya para ahli Pulmonologi.

Dikutip dari berbagai sumber, mantrasukabumi.com merangkumnya untuk waspada semua pihak.

Gejala happy hypoxia semakin diwaspadai karena bisa berisiko fatal. Alat pulse oximeter yang disebut-sebut bisa mendeteksi dini pun jadi ramai dicari dan harganya melambung tinggi di pasaran.

Baca Juga: Lihat Merchant Baru ShopeePay Minggu Ini untuk Sambut Gajian

Perlu diketahui, gejala ini bisa berisiko fatal karena pasien kekurangan kadar oksigen tanpa disadari. Prof Menaldi Rasmin, guru besar Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) mengingatkan pasien positif Corona tanpa gejala perlu waspada jika memiliki batuk yang menetap. Hal ini disebutnya, bisa menjadi tanda happy hypoxia sudah semakin dekat.

"Batuk yang menetap cepat pertimbangkan happy hypoxia sudah dekat," lanjutnya.

Pelajaran Dari Wuhan
Kondisi hipoksemia tanpa gejala sesak napas yang dialami pasien Covid-19 sesungguhnya bukan hal yang baru. Menurut dokter spesialis paru Agus Dwi Susanto, temuan tersebut sudah ada sejak wabah di Wuhan, Tiongkok.

Ada publikasi di Wuhan ketika pertama kali pneumonia Covid-19 ditemukan di sana, diketahui ada 18,7 persen pasien itu tidak ada gejalanya, tidak ada keluhan sesak napas, tetapi mengalami hipoksemia.

Baca Juga: Waspada Happy Hypoxia Serangan Covid-19 Tanpa Gejala, Lakukan Deteksi Dini dan Pahami Kondisinya  

Agus mengungkapkan bahwa kondisi itu sempat menjadi tanda tanya karena para pasien tidak mengalami keluhan sesak napas meski ditemukan kondisi happy hypoxemia atau "silent hypoxemia" dalam pemeriksaan rontgen dan CT-Scan.

Agus menjelaskan, salah satu teori yang menguat di kalangan peneliti terkait penyebab hal ini adalah karena virus corona penyebab Covid-19 disinyalir mengganggu sistem reseptor dan respons saraf pusat otak terhadap hipoksemia.

Lalu seberapa umum kasus happy hypoxia terjadi di Indonesia?
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Agus Dwi Susanto menjelaskan laporan awal happy hypoxia mulanya terjadi pada 18,7 persen pasien Corona di Wuhan. Sementara data yang ada pada RS Persahabatan ditemukan 1,7 persen pasien Corona mengalami gejala happy hypoxia.

Baca Juga: Wajib Tahu, 3 Bahaya Tidur dengan Kipas Angin Menyala

"Saya punya data sedikit di RS Persahabatan, bahwa dari pasien Covid-19 derajat (kategori) sedang, yang dirawat sekitar 200. Kami temukan ada kejadian hypoxemia tanpa keluhan sesak napas itu sekitar 1,7 persen. Tidak banyak, tetapi ada pasien-pasien yang mengeluh ada terjadi hypoxemia tetapi tidak ada keluhan sesak napas," bebernya dalam konferensi pers PDPI Selasa (8 September 2020).

Senada dengan dr Agus, dr Erlina Burhan, Ketua Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PP PDPI) menjelaskan kasus happy hypoxia sudah ditemukan sejak Maret di Indonesia, khususnya di RS Persahabatan.

"Ini sebetulnya di RS Persahabatan kasusnya sudah ada, bulan Maret itu pasien kami yang saturasinya sudah 90 tetapi dia masih berjalan ke kamar mandi, masih menelepon istrinya, masih membaca buku, tidak terlihat sesak, kami juga waktu itu heran, ini pasien hebat banget karena ini kan penyakit baru, pengetahuan kita saat itu masih terbatas tentang Covid-19," kata dr Erlina.

Baca Juga: Kartu Prakerja Gelombang 10 Sudah Dibuka, Buruan Segera Daftar Bisa Melalui HP, Berikut Tahapannya

Bagaimana cara mencegah gejala happy hypoxia?
Selain mewaspadai tanda batuk menetap, dr Erlina menyebut ada beberapa bagian tubuh yang bisa dilihat kondisinya. Termasuk kondisi bibir dan jari-jari.

"Kalau ada pasien-pasien Covid-19 yang diisolasi mandiri dengan gejala, semakin lemah misalnya tetapi tidak sesak, tetapi gejalanya semakin lemah, barangkali bisa juga dilihat bibir atau jari-jarinya kebiruan segera dibawa ke rumah sakit, karena di rumah sakit akan diberikan terapi oksigen," jelas dr Erlina.

Namun, untuk kasus secara umum yang terjadi di Indonesia terkait dengan happy hypoxia, dr Agus menjelaskan belum mendapat laporan terkait hal tersebut. Hal yang pasti, perlu adanya kewaspadaan dan kehati-hatian akan gejala happy hypoxia pada pasien Covid-19.

Baca Juga: Kementerian Luar Negeri China Bantah Klaim Lembaga Pemikir tentang Penghancuran Masjid Xinjiang

Tidak semua kasus happy hypoxia adalah Covid-19. "Jadi kalau orang normal, yang tidak kena Covid, kalau terjadi hipoksemia, itu otak akan memberikan respons, 'Kamu kurang oksigen, harus merespons dengan mempercepat napas untuk memasukkan oksigen lebih tinggi terus kamu harus merasa sesak napas' ada sistem seperti itu yang berjalan, tetapi pada Covid itu tidak berfungsi."

Untuk mencegah hipoksemia yang tanpa gejala sesak napas berlanjut menjadi hipoksia atau kurangnya oksigen pada jaringan tubuh dan berisiko mematikan, pasien positif Covid-19 disarankan untuk tetap melakukan pemeriksaan lebih lanjut terkait kondisinya serta untuk mengetahui derajat dari penyakit yang ia alami. Hal ini juga agar penanganan yang tepat bisa segera dilakukan.**

Editor: Emis Suhendi

Tags

Terkini

Terpopuler