Menurut Indra Kusumah, masalah lain bisa muncul jika dalam acara Kemenag hanya dihadiri oleh satu atau dua perwakilan agama, sementara yang harus dibacakan adalah doa dari semua agama yang diakui di Indonesia.
“Masa harus cari orang hanya untuk pembaca doa padahal pesertanya tidak ada dari agama tersebut?” ujarnya.
Menurutnya, yang sudah berlangsung selama ini di Indonesia sudah sudah cukup, yakni pembacaan doa dilakukan oleh satu orang sesuai agama mayoritas yang hadir. Sementara itu, peserta acara lain menyesuaikan berdoa sesuai agama masing-masing.
“Misalkan di Jawa Barat pembacaan doa biasanya oleh muslim, di Sulawesi Utara biasanya oleh Kristiani dan di Bali oleh pemuka agama Hindu,” jelasnya.
“Peserta dari agama lain menyesuaikan berdoa sesuai ajaran agamanya,” lanjutnya.
Dirinya lantas menyebut hal itu sebagai toleransi, dan bisa saling menghormati tanpa mencampuradukkan beberapa ajaran menjadi satu agama.
“Itu toleransi. Semua saling menghormati tanpa harus mencampuradukan ajaran satu agama dengan agama lain,” jelasnya.
“So, toleransi itu bukan sinkretisme, Gus Yaqut!” tandasnya.***