Najwa Shihab Ungkap Wasiat Terakhir Proklamator Kemerdekaan Bung Hatta: Tidak Ingin Dikubur di TMP

- 19 Agustus 2021, 17:44 WIB
Presenter Najwa Shihab ungkap sisi lain Bung Hatta.
Presenter Najwa Shihab ungkap sisi lain Bung Hatta. /Instagram.com/@najwashihab

MANTRA SUKABUMI - Presenter cantik Najwa Shihab mengungkap wasiat terakhir salah satu Proklamator Kemerdekaan Indonesia Bung Hatta.

Hal itu saat putri mendiang Bung Hatta Meutia Hatta hadir di acara Mata Najwa yang dipandu Najwa Shihab.

Salah satu wasiat Bunga Hatta adalah jika dirinya meninggal dunia tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP).

Baca Juga: Syukuri Lagu This Is Indonesia Menuju 10 Juta Penonton, Atta Halilintar: Apa yang Paling Kamu Butuhkan?

Baca Juga: This Is Indonesia Atta Halilintar Menuju 10 Juta Penonton: Jika Tuhan Kekuatanmu, Tak Ada yang Bisa Hancurkan

Hal itu disampaikan Meutia Hatta, putri pertama Mohammad Hatta saat dirinya membacakan surat wasiat dari Mohammad Hatta di acara Mata Najwa.

"Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta tempat diproklamasinya Indonesia merdeka.Saya tidak ingin dikubur di makam pahlawan (Kalibata)," ujar Meutia Hatta sebagaimana dikutip mantrasukabumi.com dari akun Instagram @narasinewsroom pada Kamis, 19 Agustus 2021.

Menurut Meutia, Bung Hatta ingin dikuburkan di tempat rakyat biasa yang nasibnya ia perjuangkan selama hidup.

"Saya ingin dikubur di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya," lanjut Meutia Hatta

Menurut Meutia Hatta, selain ingin terus bersama rakyat, Bung Hatta juga merasa kalau ada orang-orang yang tidak cocok dan tidak seharusnya dimakamkan di sana.

Meutia juga mengatakan jika wasiat tersebut ditulis Bung Hatta pada tahun 1975 dengan tulisan tangan sang Proklamator sendiri.

Baca Juga: Mbah Moen Sebut 10 Keistimewaan Hari Asyura Hari Ini dan 2 Amalan Dahsyat untuk Dilakukan

"Tulisan tangan yang sama rapihnya seperti tahun 1920-an," beber Meutia.

Sebelumnya, dalam catatan yang ia unggah di akun Instagram pribadinya, Najwa Shihab juga mengungkap pribadi Bung Hatta yang jauh dari kesan memanfaatkan jabatan sebagai Wakil Presiden pertama.

Najwa Bahkan menceritakan kisah Bung Hatta yang ingin membeli sepatu Bally, namun hingga wafat tidak pernah terbeli.

Dikutip mantrasukabumi.com dari akun Instagram Najwa Shihab, berikut catatan Najwa Shihab untuk sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia.

Rasanya saya tidak perlu mengulang lagi cerita Bung Hatta dengan sepatu Bally. Sepatu yang sangat diinginkan Bung Hatta, yang iklannya digunting dan disimpan di laci, namun sampai wafatnya tak pernah kesampaian dimiliki.

Bung Hatta naik haji pun dari uang hasil menabung. Hatta pergi haji pada 1952, saat itu ia masih Wakil Presiden.

Baca Juga: Amalan Mbah Moen dan Gus Baha Agar Rezeki Lancar dan Berkah, Baca Doa Ini Tiap Masuk Rumah

Bung Karno tentu saja menawarkan fasilitas negara, termasuk pesawat khusus, karena status Hatta sebagai wakil presiden.

Namun Hatta menolak. Uangnya dari mana? Sebagian dari honorarium menulis buku. Mengapa ia menolak? Sebab baginya soal ibadah adalah perkara personal antara manusia dengan Tuhan-nya.

Dan ia ingin menjadi tamu Allah di Mekkah sebagai pribadi, sebagai Hatta, bukan sebagai wakil presiden.

Kendati kesulitan ekonomi pasca pensiun, namun Hatta menolak menerima berbagai jabatan bergengsi dengan gaji signifikan. Alasannya: ia tak mau mengalami conflict of interest.

Pada 1960an, Bung Hatta mengalami sakit yang cukup serius. Kendati secara politik Bung Hatta adalah pengkritiknya yang paling tajam, namun Bung Karno tetap memperhatikan kesehatan koleganya itu.

Ia mendesak Hatta agar mau berobat ke luar negeri dengan fasilitas negara. Akhirnya Bung Hatta bersedia berobat ke Swedia dengan tanggungan negara.

Baca Juga: Amalan yang Dibaca Mbah Moen Setelah Shalat Magrib dan Subuh Agar Diangkat Derajatnya

Sepulangnya dari Eropa, Bung Hatta mengembalikan uang pengobatan dari negara yang masih tersisa.

Mengapa kita patut membicarakan lagi Bung Hatta? karena politik Indonesia kian jauh dari hidup yang sederhana.

Uang jadi prasyarat memenangkan pertarungan, politik berbiaya tinggi yang pelan-pelan menghancurkan.

Korupsi telanjur menggerakkan kehidupan politik, uang negara jadi bancakan yang penuh intrik.

Sangat langka politikus yang hidup apa adanya, asketisme nyaris punah dari kamus pejabat negara. Keugaharian malah rentan dianggap pencitraan, karena kepura-puraan kadung dianggap kewajaran.***

Editor: Andriana

Sumber: Instagram


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah