Kembalinya penjajah ke Tanah Air pada awalnya tak disambut perlawanan yang berarti dari rakyat Indonesia. Kala itu, Ibu Pertiwi masih seumur jagung.
Akhirnya, seperti yang disebutkan Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah Jilid Kedua, dalam Rapat Wakil 2 Daerah (Konsoel 2) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa dan Madura pada 21-22 Oktober 1945 mengajukan 'Resolusi Jihad' pada Pemerintah Republik Indonesia.
Resolusi Jihad itu menyerukan dua agenda sebagai berikut:
Pertama memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap usaha-usaha jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia terutama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannya.
Kedua supaja memerintahkan melandjutkan perjuangan bersifat 'sabilillah' untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Resolusi Jihad NU menggelorakan semangat jihad di kalangan umat Islam waktu itu. Para ulama, pemuda serta Barisan Pemberontakan Rakjat Indonesia yang dipimpin Bung Tomo, kemudian berinisiatif membentuk organisasi kesenjataan untuk mendapatkan persenjataan dari bala tentara Jepang.
Suryanegara menerangkan, waktu itu markas-markas Jepang di Bandung, Garut, Surakarta, Yogyakarta, dan Semarang diserang oleh rakyat Indonesia untuk mendapatkan pasokan persenjataan guna melawan Sekutu bersama NICA.
Bahkan Laksamana Shibata Yaichiro, seorang panglima senior Jepang yang memihak kepada Republik Indonesia lebih memilih membukakan pintu gudang persenjataan Jepang kepada para pemuda Indonesia.
Meskipun pada akhirnya, Laksamana Shibata Yaichiro menyerah ke Belanda namun sebelumnya telah meminta pasukannya untuk menyerahkan semua senjata ke rakyat Indonesia. Tentara Sekutu pun lantas meminta rakyat Indonesia agar menyerahkan seluruh senjata itu kepada pihak Sekutu.