Pasca serangan di Nice, Presiden Prancis: Kami Tidak Akan Menyerah Hingga Keamanan Level Tinggi

30 Oktober 2020, 13:16 WIB
Fakta Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang penuh kontroversi /Aljazeera.com

MANTRA SUKABUMI - Selepas insiden aksi teror di Nice Prancis pada Kamis, 29 Oktober 2020 yang menewaskan dua orang di sebuah gereja dan beberapa orang terluka, negara tersebut pun meningkatkan keamanan di berbagai wilayah. 

Presiden Prancis, Emmanuel Macron mengerahkan Ribuan tentara untuk melindungi lokasi-lokasi penting seperti tempat ibadah dan sekolah, karena peringatan keamanan negara dinaikkan ke level tertinggi. 

Aksi penyerangan itu terjadi kurang dari dua minggu setelah seorang guru sekolah menengah bernama Samuel Patty, di pinggiran Paris dipenggal oleh seorang penyerang berusia 18 tahun yang tampaknya marah sebab guru tersebut menunjukkan kartun Nabi Muhammad SAW di kelas.

Baca Juga: Login eform.bri.co.id/bpum untuk Cek Daftar Penerima, Jika NIK KTP Tidak Terdaftar Penuhi Syarat Ini

Baca Juga: Panduan Cek Penerima BPUM UMKM Rp 2,4 Juta Online Melalui e-form BRI, Login di eform.bri.co.id/bpum

Hal tersebut diungkapkan oleh Presiden Prancis, Emmanuel Macron, seperti dilansir mantrasukabumi.com dari antaranews.com. Berbicara di luar gereja, Macron mengatakan Prancis telah diserang.

"Atas nilai-nilai kami, untuk selera kami akan kebebasan, untuk kemampuan di tanah kami, untuk memiliki kebebasan berkeyakinan... Dan saya mengatakannya dengan sangat jelas lagi hari ini: Kami tidak akan menyerah," ujar Macron.

Berdasarkan pernyataan Kepala Jaksa Anti-teroris Prancis, Jean-Francois Ricard, tersangka penyerangan di Nice adalah seorang pria Tunisia yang lahir pada tahun 1999. Ia tiba di Eropa pada 20 September di Lampedusa, pulau Italia di lepas Tunisia yang merupakan titik pendaratan utama bagi para migran dari Afrika.

Ricard mengatakan pada konferensi pers di Nice bahwa pria itu memasuki kota dengan kereta api pada Kamis pagi dan pergi ke gereja, di mana dia menikam dan membunuh petugas gereja berusia 55 tahun dan memenggal kepala seorang perempuan berusia 60 tahun.

Selain dua orang tersebut, menurut Ricard, pelaku juga menikam seorang wanita berusia 44 tahun yang melarikan diri ke kafe terdekat dimana dia membunyikan alarm sebelum meninggal. 

Polisi kemudian datang dan menghadapi penyerang yang masih meneriakkan "Allahu Akbar", dan menembak serta melukai dia.

Sumber keamanan Tunisia dan sumber polisi Prancis menyebut tersangka sebagai Brahim Aouissaoui. Saat ini, tersangka berada di rumah sakit dalam kondisi kritis.

"Pada penyerang, kami menemukan sebuah Al Quran dan dua telepon, pisau kejahatan 30cm dengan ujung tajam 17cm. Kami juga menemukan tas yang ditinggalkan oleh penyerang. Di samping tas ini ada dua pisau yang tidak digunakan dalam penyerangan," ujar Ricard.

Baca Juga: Lama Tidak Muncul, Anak SBY Tiba-tiba Keluarkan Pernyataan Mengejutkan: Indonesia Harus Tegas

Baca Juga: Video ‘Halte Sarinah’ Milik NarasiTv Najwa Shihab, Sangat Mirip dengan Serial TV The X-File

Mohsen Dali, juru bicara pengadilan khusus kontra-militansi Tunisia, mengatakan kepada Reuters bahwa Aouissaoui tidak terdaftar oleh polisi di sana sebagai tersangka militan.

Dia mengatakan Aouissaoui meninggalkan negara Tunisia pada 14 September dengan perahu. Ia menambahkan bahwa Tunisia telah memulai penyelidikan forensiknya sendiri atas kasus tersebut.

Wali Kota Nice, Christian Estrosi, mengatakan serangan itu mirip dengan pemenggalan seorang guru yaitu Samuel Paty yang telah menggunakan kartun Nabi Muhammad di kelas kewarganegaraan tentang kebebasan berekspresi.**

Editor: Abdullah Mu'min

Tags

Terkini

Terpopuler