Polisi Geledah Kantor HKPORI Usai China Tetapkan UU Keamanan Baru Hong Kong

- 11 Juli 2020, 20:43 WIB
SEORANG pemrotes hukum keamanan anti-nasional memegang spanduk bertuliskan "Partai komunis Tiongkok tidak tahu malu, melanggar janji" selama pawai pada peringatan penyerahan Hong Kong ke Tiongkok dari Inggris di Hong Kong, Tiongkok, 1 Juli 2020.*
SEORANG pemrotes hukum keamanan anti-nasional memegang spanduk bertuliskan "Partai komunis Tiongkok tidak tahu malu, melanggar janji" selama pawai pada peringatan penyerahan Hong Kong ke Tiongkok dari Inggris di Hong Kong, Tiongkok, 1 Juli 2020.* //Tyrone Siu/REUTERS

MANTRA SUKABUMI - Parlemen China telah menetapkan Undang-undang Keamanan Baru yang menimbulkan kepanikan serta ketakutan banyak warga.

Setelah sepuluh hari penetapan Undang-undang tersebut Kepolisian Hong Kong melakukan penggeledahan di kantor
HKPORI, lembaga survei independen pada hari Jumat, 10 Juli 2020.

Hong Kong Public Opinion Research Institute (HKPORI) merupakan salah satu lembaga yang menyelenggarakan pemilihan pendahuluan dari kubu partai pro-demokrasi.

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Pendidikan Agama Islam Tahun 2020 Ditiadakan di Sekolah Madrasah oleh Kemenag?

Lembaga tersebut adalah milik Robert Chung yang telah digeledah oleh Kepolisian Hong Kong.

Dalam pemilihan kandidat yang dilakukan
HKPORI untuk mencari kandidat yang mendapatkan peluang terbaik untuk mendapatkan mayoritas 35 suara di pemilihan Dewan Legislatif pada September 2020, seperti dikutip dari laman Antaranews.com.

Chung mengatakan otoritas Hong Kong tiba di kantornya dan ia pun "bernegosiasi" dengan polisi demi memahami dasar hukum penggeledahan tersebut. Ia mengatakan polisi telah menyalin sejumlah informasi dari komputer HKPORI.

Kepolisian mengonfirmasi pihaknya menggeledah kantor HKPORI.

Baca Juga: 5 Profesi yang Laku Saat Pandemi Covid-19, Keuntungannya Luar Biasa

"Polisi menerima laporan dari masyarakat bahwa sistem komputer dari lembaga survei itu diduga telah diretas dan sejumlah informasi pribadi publik bocor," kata pihak kepolisian lewat pernyataan tertulis.

"Penyelidikan masih berlangsung dan tidak ada orang yang ditangkap," tambah kepolisian.

Chung pada jumpa pers Sabtu pagi mengatakan ia khawatir informasi yang diambil kepolisian dapat digunakan untuk penyelidikan lain. Namun, ia berjanji akan melakukan apapun untuk melindungi para sumber. Chung tidak menyebutkan jenis data apa yang telah diambil kepolisian.

"Kami mendapatkan janji lisan mereka tidak menggunakan data itu untuk penyelidikan lain," kata Chung.

Baca Juga: Kunci Memperoleh Kekayaan Menurut Islam, Salah Satunya Menikah

Chung pada tahun keluar dari unit survei di University of Hong Kong dan membentuk lembaga survei independen, HKPORI. Ia kerap dikritik oleh kelompok pro-Beijing yang mempertanyakan akurasi hasil surveinya.

Eks anggota legislatif berpaham demokratis, Au Nok-hin, meyakini penggeledahan itu terkait dengan pemilihan pendahuluan. Ia percaya aksi kepolisian itu bertujuan menebar ketakutan di masyarakat.

HKPORI menggelar tiga survei untuk Reuters tentang bagaimana warga Kota Hong Kong menanggapi gerakan unjuk rasa pro-demokrasi yang telah berlangsung sejak 2019. Survei itu diadakan pada Desember 2019, Maret dan Juni 2020.

Baca Juga: Malam Minggu Seru Dirumah Aja, Berikut Aplikasi Tontonan Film yang Bisa Dinikmati

Hasil jajak pendapat terbaru HKPORI menunjukkan hampir sebagian penduduk Hong Kong mengatakan mereka "sangat menentang" Undang-Undang Keamanan Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah China di kota semi otonom itu.

Hong Kong sempat jadi kota terbebas di China setelah wilayah itu dikembalikan oleh Inggris pada 1 Juli 1997. Pengembalian itu dilakukan dengan syarat China akan menjamin otonomi dalam berbagai sektor di Hong Kong.

Hasil survei HKPORI juga menunjukkan dukungan terhadap gerakan protes memudar, meskipun sebagian besar orang tetap menyuarakan tuntutan mereka, di antaranya termasuk hak pilih yang universal dan mundurnya pemimpin Hong Kong, Carrie Lam.

Baca Juga: Wajib Tahu, 5 Makanan yang Tidak Memiliki Tanggal Kadaluarsa

Salah satu pertanyaan yang diajukan ke para responden terkait dukungan terhadap kemerdekaan Hong Kong. Tuntutan kemerdekaan merupakan batas yang tidak boleh dilewati oleh warga Hong Kong atau mereka akan jadi sasaran UU Keamanan Baru.

Dari keseluruhan responden, 21 persen di antaranya mendukung Hong Kong merdeka. Angka itu tidak berubah sejak Maret. Namun, 60 persen responden menentang usulan tersebut.

Pemerintah China memberlakukan UU Keamanan Nasional sebelum tengah malam pada 30 Juni. UU itu akan memidanakan tiap orang di dalam dan di luar Hong Kong yang terlibat makar, subversi, terorisme, kolusi dengan pasukan bersenjata asing, dan aksi unjuk rasa anti-China.

Baca Juga: Status Zona Hijau, Kota Sukabumi Kembali Tambah Kasus Positif

Otoritas di Beijing mengatakan penetapan UU itu penting karena Hong Kong, lewat konstitusinya, gagal menciptakan produk hukum serupa. Hong Kong memiliki konstitusi tersendiri yang disebut Basic Law/Undang-Undang Dasar.

Pemilihan pendahuluan dilakukan jelang pemilihan Dewan Legislatif pada 6 September. Kelompok pro-demokrasi berharap dapat mengamankan mayoritas 35 plus suara di parlemen, sehingga mereka dapat membatalkan usulan eksekutif, serta berpotensi melumpuhkan pemerintahan.

Sejumlah anggota dewan pro-Beijing mengatakan kelompok pro-demokrasi ingin mengganggu pemerintah sehingga menyebabkan krisis konstitusional.

Kepala Bidang Konstitusi Hong Kong Erick Tsang pada minggu ini memperingatkan pemilihan pendahuluan dari kubu pro-demokrasi dapat melanggar aturan UU Keamanan Nasional. Namun, pernyataan itu segera ditentang oleh kelompok pro-demokrasi di Hong Kong.**

Editor: Emis Suhendi

Sumber: antaranews


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x