Jawabnya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Dr. Abdullah bin Mahmud Al-Furaih, adalah bahwa malu semacam itu bukan malu yang syar’i yang secara keseluruhan merupakan kebaikan.
Namun itu disebut dengan خَجَل – sifat takut-takut, خَوَرٌ – kelemahan, dan مهانة rasa rendah diri. Hal ini dinamakan dengan malu sebagai kiasan semata. Namun ini bukanlah malu yang syar’i. Hanya saja sering disebut dengan malu.
Jadi malu yang menghalangi seseorang dari berbicara yang benar dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah rasa malu yang tercela. Ia bukan yang dimaksud oleh hadits Nabi ﷺ karena itu adalah malu yang syar’i.[ii]
Sedangkan Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As-Saqaf menjelaskan beda antara الحياءِ haya’ – malu yang syar’i dengan الخجَلِ – kelemahan hati, bahwa al-haya’ atau malu itu merupakan sifat kesempurnaan bagi jiwa manusia.
Ia menjadikan seseorang senantiasa berada di atas ketinggian dari dunia ini dan tidak tunduk kepada kebatilan.
Adapun al-khajal – atau kelemahan hati, itu merupakan sifat kekurangan pada jiwa manusia. Ia mencegah seseorang dari menyempurnakan dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan sebaik-mungkin.”[iii]
Bentuk Rasa Malu
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Dari penjelasan tadi jelas bahwa malu itu ada dua macam yaitu malu yang terpuji yaitu yang sesuai dengan tuntunan syara’ dan malu yang tercela yaitu yang menyelisihi tuntunan syara’.
Rasa Malu Yang Terpuji
Agar lebih jelas berikut ini beberapa contoh gambaran malu yang terpuji dan tercela. Bentuk-bentuk malu yang terpuji adalah sebagai berikut: