Dalam ayat ini terdapat sebuah ketentuan bahwa semua masalah yang berhubungan dengan ibadah atau dengan halal dan haram, hanya ada di dalam Al-Qur′an dan Hadis yang dijadikan pokok pegangan dalam menetapkannya bukan pendeta pemimpin dan bukan pula pendapat ahli hukum yang kenamaan sekalipun.
Sebab kalau demikian, tentulah hal itu akan menyebabkan adanya persekutuan dalam keesaan rububiyah dan penyimpangan dari petunjuk Al-Qur'an seperti tersebut dalam firman Allah:
اَمْ لَهُمْ شُرَكٰۤؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْۢ بِهِ اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗوَاِنَّ الظّٰلِمِيْنَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
Artinya:
Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah? Dan sekiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Allah) tentulah hukuman di antara mereka telah dilaksanakan.
Dan sungguh orang-orang zalim itu akan mendapat azab yang sangat pedih. (asy-Syura/42: 21).
Tersebut pula dalam firman Allah:
وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ
Artinya:
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ”Ini halal dan ini haram,”(an-Nahl/16: 116).
Adapun masalah yang tidak berkaitan langsung dengan akhirat dan ibadah seperti urusan peradilan dan urusan politik, Allah telah melimpahkan kekuasaan-Nya kepada manusia yang berilmu, seperti Ahlul Halli wal 'Aqdi yaitu para ahli berbagai bidang dalam masyarakat.