Yang mana tambahan dan penekanan ini merupakan keistimewaan Islam dibanding dengan metode-metode penggunaan nalar yang dikenal selama ini.
Pintu-pintu atau media untuk sampainya ilmu adalah melalui al-sam’u (pendengaran), al-basharu (penglihatan), dan al-fu’adu (perenungan-pemikiran).
Sehingga ketiganya harus diintegrasikan dengan baik untuk memaksimalkan pendidikan intelektual seseorang.
Sebab karena itu, perlu dipahami bahwa yang dilihat di sini adalah fungsinya, potensinya, bukan alatnya.
Ada orang yang punya mata tapi tidak melihat, punya telinga tapi tidak mendengar. Punya hati tapi tidak merenungkan. Bendanya: uzunun, 'ainun, qalbun (QS. Al-A’raf: 179).
Sebagaiman Al Quran mengajarkan manusia agar bersikap kritis, dengan cara menggunakan pendengaran, penglihatan dan akal pikiran.
Karena itu, ajaran Islam melarang orang bertaqlid dalam agama, yaitu mengikuti saja tanpa mengetahui dalil atau sumber rujukannya.
Sebagaimana sikap taqlid sama dengan meniadakan adanya potensi akal yang Allah berikan kepadanya.
Maka ayat ini sangat relevan dalam konteks pembelajaran aktif (active learning) yang berusaha memaksimalkan potensi generik inderawi tersebut untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu.***