Hidayat Nur Wahid Sebut Ada Masalah Serius dengan Hanya 2 Kandidat Maju Capres atau Cawapres

2 Februari 2021, 14:33 WIB
Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. /ANTARA/HO-Aspri.

MANTRA SUKABUMI - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menuturkan bahwa ada masalah serius yang berdampak panjang dengan hanya 2 kandidat maju sebagai capres atau cawapres.

Menurut Hidayat Nur Wahid, dampak yang akan terjadi yaitu terjadinya pembelahan di masyarakat sejak dari tingkat rumah tangga hingga ke skala negara.

Wakil Ketua MPR RI meminta DPR dan pemerintah untuk meninjau ulang revisi UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya pengaturan batas pencalonan presiden atau "presidential threshold" (PT).

Baca Juga: Brand Lokal Favorit Masyarakat Kini Hadir Jadi Merchant Baru ShopeePay

Baca Juga: Natalius Pigai Sebut AHY Akan jadi Pemimpin Indonesia Berkelas Dunia

"PT yang sangat besar tersebut, pilihan capres yang tersedia semakin terbatas dan terbukti pada Pilpres 2014-2019 hanya dua pasangan calon yang memenuhi syarat bisa maju dalam Pilpres," kata Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, seperti dikutip mantrasukabumi.com dari Antaranews.com, Selasa, 2 Februari 2021.

"Sehingga rakyat dipaksa tidak memiliki banyak pilihan, apalagi banyak tokoh Bangsa yang sangat layak memimpin Indonesia, tidak bisa dimajukan dalam kontestasi Pilpres karena tersandung dengan ketentuan tersebut," lanjutnya.

Dia menilai, besaran PT yang sebesar 20 persen yang berlaku saat ini dan sudah dipraktikkan pada Pilpres tahun 2014 dan 2019, telah menimbulkan banyak dampak negatif.

Dia menilai kondisi yang dikhawatirkan akan sangat membahayakan harmoni, keutuhan dan kelanggengan NKRI.

Baca Juga: Meski BLT BPJS Tidak Dilanjutkan, Jangan Khawatir Pekerja yang Berhak Terima Bantuan Tetap Diberikan

"Memang tidak serta merta sebagaimana dikhawatirkan oleh tokoh yang mengajukan 'judicial review' ke MK agar 'presidential treshold' ditiadakan atau 0 persen, bahwa adanya pembatasan akan hadirkan pembelahan dan tidak adanya alternatif calon kepemimpinan nasional," ujarnya.

Menurut dia, faktanya di Pilpres tahun 2004 dan 2009 sudah diberlakukan "presidential treshold" sebesar 15 persen, dan menghadirkan alternatif calon Presiden yang cukup 5 kandidat di 2004 serta 3 kandidat di 2009.

Dia menjelaskan, setelah dilaksanakan Pilpres tahun 2004 dan 2009, tidak terjadi pembelahan di masyarakat, sebagaimana terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019, itu terjadi karena besaran PT disepakati di angka yang proporsional.

"Sekarang dengan perkembangan pengalaman Pilpres dan hasilnya serta tuntutan meluas dari masyarakat untuk hadirkan ketersediaan alternatif kandidat capres atau cawapres. Karena itu wajar saja bila batasan syarat pengajuan capres yang lebih bisa mengakomodasi kedaulatan rakyat, semakin menjauhkan mereka dari keterbelahan, dan menguatkan praktik demokrasi di Indonesia," ujarnya.

Baca Juga: Ferdinand Hutahaean Desak Polri untuk Selidiki Sumber Dana yang Masuk ke FPI

HNW mengatakan dengan sudah diberlakukan-nya Pilpres serentak bersama dengan Pileg, maka wajar saja apabila Pemerintah dan DPR mempertimbangkan besaran "presidential treshold" sesuai dengan "electoral treshold" yang diberlakukan untuk Pileg seperti di Pileg 2019 sebesar 4 persen, yang kemungkinan akan naik, tapi tidak melebihi 5 persen.

Menurut HNW, pengaturan PT sebesar 4 atau 5 persen itu merupakan "win win solution" dan solusi proporsional yaitu ada pihak yang ingin tetap 20 persen dan ada pihak yang ingin PT dihapuskan sama sekali atau 0 persen.

"Dengan didukung oleh partai yang berada di parlemen dengan minimal 4 persen atau 5 persen kursi, maka capres atau cawapres membuktikan bahwa mereka mempunyai dukungan politik yang riil sebagaimana tergambar di parlemen," katanya.

Menurut dia, dengan semangat seperti itu diyakini akan memenuhi harapan rakyat dan terbuka alternatif calon pemimpin yang lebih banyak, sehingga tidak terjadi pengebirian kedaulatan rakyat, dan tidak mengulangi Pilpres yang membelah masyarakat lagi seperti dalam dua Pilpres sebelumnya.***

Editor: Robi Maulana

Tags

Terkini

Terpopuler