Mengenal Sejarah Pasar Tanah Abang Jakarta, Pusat Grosir Tekstil Terbesar di Asia Tenggara

18 April 2021, 15:40 WIB
Salah satu pedagang pasar Tanah Abang yang terdampak pandemi Covid-19 /Pikiran-Rakyat.com/ Amir Faisol/

MANTRA SUKABUMI - Saat memasuki bulan Ramadhan Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat biasanya diserbu oleh umat muslim ramai berbelanja perlengkapan ibadah seperti, tasbih, sajadah, peci dan baju muslim untuk dipergunakan saat beribadah di bulan suci dan juga lebaran, atau berburu makanan yang berasal dari negara arab seperti kurma dan sebagainya.

Pasar Tanah Abang dikenal sebagai Pusat grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara selalu ramai pengunjung yang berburu busana Lebaran, baik untuk dipakai sendiri maupun dijual kembali.

Karena Pasar Tanah Abang menyediakan busana yang dijual eceran untuk keperluan pribadi, maupun yang dijual grosiran untuk dijual kembali oleh si pembeli.

Baca Juga: Pangdam IX Udayana dan Shopee Indonesia Bantu Tuntaskan Krisis Air Bersih di NTT

Baca Juga: Pantas Saja Nabi Muhammad SAW Larang Umatnya Cabut Uban, Ternyata ini Alasannya

Berikut adalah sejarah singkat asal usul Pasar Tanah Abang, dirangkum mantrasukabumi.com dari berbagai sumber,

Awalnya Pasar Tanah Abang atau dahulu disebut Pasar Sabtu dibangun oleh Yustinus Vinck pada 30 Agustus 1735.

Yustinus Vinck mendirikan Pasar Tanah Abang Pasar atas izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patramini. Izin yang diberikan saat itu untuk Pasar Tanah Abang adalah untuk berjualan tekstil serta barang kelontong dan hanya buka setiap hari Sabtu.

Oleh karena itu, pasar ini disebut Pasar Sabtu, dan Pasar ini mampu menyaingi Pasar Senen (Welter Vreden) yang sudah lebih dulu maju.

Baca Juga: Soal Usulan Anies Disetujui PBB, Ferdinand Hutahaean: Apanya yang Hebat

Pada tahun 1740 terjadi Peristiwa Geger Pecinan, yaitu pembantaian orang-orang Tionghoa, perusakan harta benda, termasuk Pasar Tanah Abang diporakporandakan dan dibakar.

Pada tahun 1881, Pasar Tanah Abang kembali dibangun dan yang tadinya dibuka pada hari Sabtu, ditambah hari Rabu, sehingga Pasar Tanah Abang dibuka 2 kali seminggu.

Bangunan Pasar pada mulanya sangat sederhana, terdiri dari dinding bambu dan papan serta atap rumbia dari 229 papan dan 139 petak bambu.

Pasar Tanah Abang terus mengalami perbaikan hingga akhir abad ke-19 dan bagian lantainya mulai dikeraskan dengan pondasi adukan.

Baca Juga: Soal Pernyataan Dahnil Anzar, Tokoh Papua: Akhirnya Habib Rizieq Bisa Tahu Keaslian Hati Mereka

Pada tahun 1913, Pasar Tanah Abang kembali diperbaiki. Pada tahun 1926 pemerintah Batavia membongkar Pasar Tanah Abang dan diganti bangunan permanen berupa tiga los panjang dari tembok dan papan serta beratap genteng, dengan kantor pasarnya berada di atas bangunan pasar mirip kandang burung.

Pelataran parkir di depan pasar menjadi tempat parkir kuda-kuda penarik delman dan gerobak. Di situ tersedia kobakan air yang cukup besar, dan di seberang jalan ada toko yang khusus menjual dedak makanan kuda.

Beberapa puluh meter dari toko dedak ada sebuah gang yang dikenal sebagai Gang Madat, tempat lokalisasi para pemadat. Pada zaman pendudukan Jepang, pasar ini hampir tidak berfungsi, dan menjadi tempat para gelandangan.

Pasar Tanah Abang semakin berkembang setelah dibangunnya Stasiun Tanah Abang, Di tempat tersebut mulai dibangun tempat-tempat seperti Masjid Al Makmur dan Klenteng Hok Tek Tjen Sien yang keduanya seusia dengan Pasar Tanah Abang.

Pada tahun 1973, Pasar Tanah Abang diremajakan, diganti dengan 4 bangunan berlantai empat, dan sudah mengalami dua kali kebakaran.

pertama tanggal 30 Desember 1978, Blok A di lantai tiga dan kedua menimpa Blok B tanggal 13 Agustus 1979. Pada tahun 1975 tercatat kiosnya ada 4.351 buah dengan 3.016 pedagang.***

Editor: Robi Maulana

Tags

Terkini

Terpopuler