Pakar: Terpilihnya Moeldoko di KLB Sumut Dinilai Tidak Lazim dan Bingungkan Dunia Politik

- 11 Maret 2021, 17:56 WIB
Pakar: Terpilihnya Moeldoko di KLB Sumut Dinilai Tidak Lazim dan Bingungkan Dunia Politik ./
Pakar: Terpilihnya Moeldoko di KLB Sumut Dinilai Tidak Lazim dan Bingungkan Dunia Politik ./ /Dok. Lipi.go.id




MANTRA SUKABUMI – Kisruh di tubuh Partai Demokrat yang terjadi akhir-akhir ini cukup menyita perhatian publik. Peristiwa politik yang terjadi pada 5 Maret di Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut) mendapat sorotan dari sejumlah pakar politik.

Salah satunya pakar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Siti Zuhro. Dia menilai KLB Partai Demokrat tersebut tidak lazim sebab tidak mengikuti AD/ART.

Apalagi, lanjut Siti, ketua umum yang dimunculkan dan terpilih yakni Moeldoko, bukan kader partai. Kondisi itu akan membingungkan dunia politik, demokrasi, kelompok intelektual serta pihak-pihak yang belajar demokrasi.

Baca Juga: Pangdam IX Udayana dan Shopee Indonesia Bantu Tuntaskan Krisis Air Bersih di NTT

Baca Juga: Addie MS Sindir Amien Rais: Tuhan Tak Suka pada Orang yang Tidak Menunaikan Nazarnya

“Jika dilihat dari perspektif demokrasi, KLB Demokrat yang digelar di salah satu hotel di Sumatera Utara tersebut memprihatinkan karena melanggar kaidah sebagaimana tercantum dalam AD/ART Partai Demokrat,” ujar Siti Zuhro dalam diskusi virtual akhir pekan lalu.

Menurutnya, KLB telah menafikan etika dan norma serta menjungkirbalikkan peraturan partai.

“Akibatnya, masyarakat dibuat semakin bingung dengan atraksi politik KLB Demokrat,” ujarnya, seperti dikutip mantrasukabumi.com dari Antara pada 11 Maret 2021.

Lebih miris lagi, Siti menilai kondisi tersebut mencerminkan para elite hanya bersaing dan berpikir untuk 2024 saja. Padahal, masyarakat yang dibuat bingung ini tengah kesusahan menghadapi pandemi COVID-19. Ditambah lagi, perhatian publik malah jadi turut tertuju pada KLB Demokrat.

Baca Juga: Tak Hanya Baik untuk Kanker Payudara, Ternyata 13 Makanan ini Wajib Dikonsumsi Wanita

"Ini sebenarnya menguras energi publik dan sebenarnya publik sudah jengah dengan masalah-masalah seperti ini," kata Siti.

Siti juga heran alasan dibalik masih adanya anak bangsa yang terperangkap dengan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia sehingga muncul kudeta dan sebagainya.

“Padahal, Presiden telah menyerukan agar semua elemen masyarakat dapat bersatu padu,” kata Siti Zuhro.

Pada dasarnya, lanjut pakar politik LIPI itu, dualisme atau kisruh di dalam tubuh partai politik hanya melibatkan langsung kader atau internal partai saja. Namun, ada yang berbeda dengan kejadian di tubuh Partai Demokrat karena Moeldoko yang bukan kader partai muncul ke permukaan secara terang-terangan.

Baca Juga: Gerakan Sajadah Pelindung Covid-19, Wapres Ma’ruf Amin Sebut Masjid sebagai Sarana Tangani Risiko Bencana

Kondisi tersebut terjadi karena etika dan moral politik yang sudah mulai pudar, bahkan tidak ada. Padahal, posisi etika sesungguhnya berada di atas hukum.

Melihat beberapa kejadian kisruh partai yang terjadi di Tanah Air, maka perlu adanya perbaikan yang lebih baik ke depannya. Salah satu evaluasi yang mesti dilakukan partai politik ialah terkait pemilihan pimpinan baru.

Selama ini, setiap kongres, musyawarah nasional (munas) atau pemilihan ketua umum dan perangkat lainnya kerap menampilkan satu calon saja. Padahal, politik yang sehat serta membangun seharusnya dapat memberikan sejumlah pilihan.

Sebut saja, Partai Golkar, Gerindra, Demokrat serta PAN yang sudah bisa ditebak orang-orang yang bakal terpilih sebagai pemilik kursi nomor satu di partai-partai tersebut. Bahkan, termasuk pula PDI-P yang identik dengan Megawati Soekarnoputri sebagai orang nomor satunya.

Baca Juga: Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Memperingati Isra Mi'raj, DPR Bermunajat Agar Indonesia Terlepas dari Covid-19

Baca Juga: Rachland Nashidik Santai Intel Polisi Datangi Kader Demokrat, Muannas Alaidid: Mustahil TNI Polri Ikut-ikutan

Berkaca dari kondisi tersebut, ke depan diharapkan tidak ada lagi partai politik yang mengerucutkan calon tunggal untuk diusung pada proses pemilihan. Dengan kata lain tidak menganggap calon tersebut lebih unggul dari kader lainnya.

Sebab, jika kondisi itu terus dibiarkan, maka hal itu berarti masyarakat sedang membangun partai politik yang tidak mudah. Jika kompetisi kontestasi politik tidak menjadi kekhasan orang Indonesia, sebaiknya dicarikan solusi lain.

Tujuannya ialah agar para kader yang juga memiliki hak otonom mendapatkan representasi mereka serta merasakan kepemilikan atas partai tempat mereka bernaung. Jangan sampai hak dan suara para kader malah dikebiri.

Sudah seharusnya dominasi-dominasi tunggal yang terjadi selama ini di tubuh partai terutama menjelang pemilihan pimpinan harus diputus. Jika hal itu bisa diterapkan, maka diyakini tidak akan ada kader partai yang menjadi kutu loncat sebagaimana banyak terjadi di Tanah Air.

Baca Juga: Sampaikan Ucapan Selamat Hari Peringatan Isra Miraj 1442 H, Ruben Onsu Banjir Pujian Netizen

Kesimpulannya, setiap partai politik di negeri ini harus bisa memberikan kesempatan yang sama bagi semua kader yang memenuhi kualifikasi untuk menghasilkan sumber daya manusia berkualitas di tubuh partai politik.

"Jadi jangan langsung dikunci misalnya anaknya saja, suami, kerabat dan sebagainya," ujarnya.

Kini, baik kubu AHY maupun kubu Moeldoko saling menyusun strategi jitu agar tujuan politik masing-masing pihak tercapai.

“Pertarungan Sang Jenderal dan Mayor tentunya menarik untuk dilirik dengan harapan bisa memberikan pencerdasan dan pendewasaan politik bagi masyarakat,” pungkasnya.***

Editor: Robi Maulana

Sumber: Antara News


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah