Sejarah Singkat WALHI, Mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim Sebagai Inisiator

- 2 Juni 2021, 09:13 WIB
Sejarah Singkat WALHI, Mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim Sebagai Inisiator
Sejarah Singkat WALHI, Mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim Sebagai Inisiator /ANTARA

 

MANTRA SUKABUMI - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau disingkat WALHI, adalah organisasi lingkungan hidup independen, non-profit terbesar di Indonesia.

Untuk generasi sekarang WALHI bertanggung jawab mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan yang lebih baik.

Berikut sejarah singkat WALHI yang kini dikenal sebagai organisasi pecinta lingkungan Indonesia.

Baca Juga: 5 Gejala Ginjal Bocor yang Perlu Diwaspadai, Sering Buang Air Kecil Salah Satunya

Hal itu berawal Setelah dua bulan diangkat sebagai Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim berdialog dengan beberapa kawannya.

seperti Bedjo Rahardjo, Erna Witoelar, Ir.Rio Rahwartono (LIPI), dan Tjokropranolo Gubernur DKI saat itu, untuk membicarakan agar lingkungan menjadi sebuah gerakan dalam masyarakat.

“Saya pengen bola salju lingkungan hidup bisa cepat membesar,” kata Emil Salim sebagaimana dikutip mantrasukabumi.com dari akun resmi walhi.or.id pada 2 Juni 2021.

Bukan hanya itu tujuannya, tetapi Emil Salim merasa bahwa ia harus belajar tentang lingkungan, karena Emil Salim melihat bahwa lingkungan ini adalah sesuatu yang baru dan belum populer di Indonesia.

Emil Salim ingin terjun ke tengah-tengah masyarakat agar persoalan-persoalan lingkungan di masyarakat bisa diketahui dan dicarikan solusi oleh masyarakat.

Untuk itulah, ia harus mencari jalan keluar agar bola salju yang bernama ‘lingkungan’ itu menggelinding lebih besar.

Baca Juga: Unggah Foto Bersama Ayu Ting Ting dan Bilqis, Ivan Gunawan Singgung Soal Kebahagiaan: Syukuri Apa yang Ada

Dalam diskusi-diskusi yang berlangsung secara informal dengan kawan-kawannya, bagi Emil Salim tidak ada pilihan lain, kecuali minta bantuan kelompok-kelompok NGO dan pecinta alam.

Harapan Emil adalah agar kelompok NGO dan pecinta alam dapat membantu menyelesaikan pelbagai persoalan lingkungan, karena kedua kelompok ini dianggap mempunyai kedekatan dengan masyarakat.

Sehingga pemerintah melalui lembaga ini bisa menyampaikan programnya kepada masyarakat. Di sisi lain, masyarakat yang tidak bisa menyampaikan permohonannya kepada pemerintah bisa disampaikan melalui NGO.

Keinginan Emil Salim yang begitu besar membuat haru seorang kawannya yang saat itu menjadi Gubernur DKI, yaitu Tjokropranolo.

Hingga suatu siang Tjokropranolo menawarkan sebuah ruangan untuk melakukan pertemuan kelompok NGO se-Indonesia.

Gayung bersambut, tanpa pikir panjang, Emil Salim langsung menerima tawaran Tjokropranolo untuk melakukan pertemuan NGO seluruh Indonesia.

Pertemuan tersebut dilakukan di Lantai 13, Balaikota (Kantor Gubernur DKI Jakarta), Jalan Merdeka Selatan. Tidak dinyana sama sekali, pertemuan mendadak tersebut dihadiri sekitar 350 lembaga yang terdiri dari lembaga profesi, hobi, lingkungan, pecinta alam, agama, riset, kampus, jurnalis, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Sebut Kerjanya Hanya Menghina, Ketua KNPI Sarankan Eko Kuntadhi Ubah Pekerjaan

Disitulah Emil Salim mengungkapkan semua keinginannya bahwa antara pemerintah dan NGO harus berjalan bersama untuk mewujudkan lingkungan yang baik, juga diungkapkan bahwa masyarakat harus membantu program-program pemerintah dalam bidang lingkungan.

Dalam pertemuan tersebut, Abdul Gafur (saat itu Menteri Pemuda dan Olahraga), datang menjenguk. Kabarnya, ia ingin mengetahui apa yang akan dilakukan kelompok NGO dan tanggapan kelompok ini terhadap pemerintah.

Agar pertemuan tersebut tidak sia-sia, mereka harus mencari bagaimana memelihara komitmen bersama sekaligus mencari cara berkomunikasi yang efektif di antara mereka.

Menjelang acara usai, muncullah kesepakatan untuk memilih sepuluh NGO yang akan membantu program-program pemerintah dalam bidang lingkungan hidup.

Ke-sepuluh organisasi tersebut kemudian disebut dengan Kelompok Sepuluh. Awalnya, kelompok ini akan dinamakan dengan Sekretariat Bersama Kelompok Sepuluh.

Namun, George Adji Tjondro menolak, dengan alasan kalau sekretariat bersama, seperti underbownya Golkar. Akhirnya, Goerge mengusulkan nama Kelompok Sepuluh.

Dan dari lantai 13 itulah, lahir Kelompok 10 yang menjadi cikal bakal kelahiran WALHI.

Kemudian Atas prakarsa kelompok 10, dan dukungan Sri Sultan Hamengku Buwono IX lewat Indonesia Wildlife Fund, dibicarakan kemungkinan pertemuan ornop yang lebih besar untuk menanggapi isu yang lebih besar.

Baca Juga: Permanen, Belum Digunakan dan Terbaru Kode Redeem FF 'Free Fire' Hari ini Rabu 2 Juni 2021, Cek Segera Disini

Dari awal sudah disadari bahwa masalah lingkungan hidup itu menyangkut hal-hal yang kompleks, sehingga beberapa ornop yang sudah mempunyai program lingkungan hidup memutuskan untuk bertemu dalam satu forum nasional.

Dalam sebuah makan siang, Emil Salim, Soerjani, dan Erna Witoelar, sepakat untuk mengikutkan forum pertemuan nasional LSM itu ke dalam Konferensi Pusat Studi Lingkungan (PSL) yang pertama di Jakarta.

Tidak hanya kelompok Sepuluh yang tampak antusias mempersiapkan acara tersebut, namun juga beberapa departemen.

Tidak tanggung-tanggung, Emil Salim bahkan melaporkan rencana pertemuan nasional tersebut kepada Soeharto.

Dalam konferensi persnya, Emil mengatakan bahwa pertemuan tersebut dimaksudkan untuk bertukar pikiran agar organisasi kelompok ini dapat ikut aktif dalam pengembangan lingkungan di Indonesia.

Di pihak lain, PPLH, Departemen Pekerjaan Umum (PU), Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian dapat bekerjasama sehingga kelompok organisasi ini menjadi semacam “jembatan” antara aparatur Pemerintah dengan masyarakat dalam menangani masalah lingkungan hidup.

Dengan demikian, diharapkan ada “semacam jalan pintas” sehingga dalam waktu singkat dapat “dirakyatkan” masalah lingkungan hidup.

Pertemuan tersebut disponsori oleh Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan Margasatwa Indonesia/World Wirldlife Fund yang diketuai oleh Hamengkubuwono IX.

Selain itu, juga muncul beberapa nama yang memberikan dukungan seperti Purnomo (Menteri PU), Soedjarwo (Menteri Kehutanan), dan Emil Salim (Menteri LH).

Mereka tidak hanya memberikan dukungan immaterial, namun juga memberikan bantuan dana. Dari dana bantingan antar-kawan tersebut, berhasil terkumpul sekitar sepuluh juta rupiah.

Adalah Erna Witoelar dan Nasihin Hasan yang saat itu mengambil uang dari WWF yang diserahkan oleh Soedjarwo (Menhut sekaligus bendahara WWF). Pertemuan berlangsung pada tanggal 13 – 15 Oktober 1980, di Gedung YTKI bersamaan dengan berlangsungnya Konferensi Pusat Studi Lingkungan (PSL) se-Indonesia.

Pertemuan tersebut diikuti oleh 130 orang peserta dari 78 organisasi dari tiga kelompok, yaitu kelompok organisasi masyarakat (agama, sosial), organisasi pecinta alam, dan organisasi profesi.

Baca Juga: Jadwal Acara TV GTV dan RTV Rabu 2 Juni 2021, Ada Tayangan The Spongebob Squarepants Movie

Tokoh yang dianggap menonjol saat itu antara lain George Junus Aditjondro dari Bina Desa, MS Zulkarnaen dari Yayasan Mandiri Bandung, Satjipto Wirosardjono dari PKBI, Rudy Badil dari Mapala UI, dan Zen Rahman dari IAI.

Dari kalangan PSL kampus tercatat nama Otto Soemarwoto, Hasan Poerbo, Soeratno Partoatmodjo, Abu Dardak, dan lain-lain.

Pertemuan tersebut berlangsung alot karena kecurigaan sebagian peserta dari kelompok pecinta alam dan aktivis kampus bahwa organisasi payung yang dibentuk tidak jauh berbeda, misalnya, dengan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), dan lain-lain organisasi yang dibentuk dan dimobilisasi pemerintah.

Bahkan, untuk nama organisasi yang akan menjadi wadah dari NGO yang mengikuti acara ini sempat deadlock. Kamis sore, menjelang penutupan tetap belum diperoleh sebuah nama.

Adalah Erna Witoelar, salah seorang panitia yang tampak panik, mondar-mandir sambil sesekali menyeka keringat dikening dan pipinya.

Wajahnya tampak tegang, ia dan beberapa panitia pencetus pertemuan tersebut, kebingungan.

Lembaga NGO yang awalnya tampak sepakat dengan tujuan ternyata kembali membawa nama lembaganya masing-masing. Ada semacam ketakutan bahwa antar lembaga tersebut akan terjadi saling mengkooptasi.

Sesaat setelah masuk ruangan, Erna kembali keluar, kali ini matanya merah, ia menangis. “Tidak…kita harus putuskan sekarang, pertemuan ini harus menghasilkan sesuatu,” katanya sambil sesenggukan.

Beberapa anggota kelompok sepuluh, seperti Zen Rahman, Nashihin Hasan, mulai melakukan lobi kepada peserta yang saat itu sedang deadlock.

Baca Juga: 10 Gejala Stroke yang Harus Diwaspadai, Sering Tersedak Salah Satunya

Goerge Adji Tjondro yang menjadi anggota Kelompok Sepuluh malah paling keras dalam persoalan nama, alasannya adalah tidak mau seperti Golkar atau underbow lembaga manapun.

Oleh karena itu, pemilihan nama itu memakan waktu cukup lama. Setelah deadlock, sidang dilanjutkan dengan break, saat itulah lobi tahap kedua dilanjutkan.

kali ini lobi difokuskan untuk mendekati kelompok muda yang terdiri dari pecinta alam dan kelompok agama yang takut terkooptasi ideologinya.

Kemudian Menjelang Maghrib, Erna tergopoh-gopoh keluar ruangan sidang. Ia menjelaskan bahwa sidang akan ditutup dua jam lagi, sementara suasana sidang masih deadlock.

karena belum ada kesepakatan soal nama forum nasional yang menghimpun LSM Lingkungan Hidup. Pleno sidang berjalan alot karena kecurigaan sebagian peserta dari kelompok pecinta alam dan aktivis kampus bahwa organisasi payung yang dibentuk tidak jauh berbeda misalnya dengan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), dan lain-lain organisasi yang dibentuk dan dimobilisasi pemerintah.

Dalam percakapan dipojok ruangan depan, terjadi percakapan antara Erna dengan Zen Rachman dan Wicaksono Noeradi.

Yang penting bentuknya bukan federasi atau fusi “Mengapa tidak sekretariat bersama yang dalam bahasa Inggrisnya: Coordinating Secretariat?” tanya saya. “Tidak bisa,” jawab Erna. “Sebab mirip Sekber Golkar!”Saya katakan bahwa sebutan “forum” lebih baik.

Namun, Erna menjawab “Tidak cukup.” Saya menawarkan Forum Komunikasi. Langsung dijawabnya, “Tidak mungkin, sebab mirip Forum Komunikasi putra-putri purnawirawan ABRI dan putra-putri ABRI.”

Setelah lama termenung-menung, walaupun agak pesimis “Bagaimana kalau Wahana?” tanya saya. “Apa artinya itu?” tanya Erna. “Artinya vehicle atau means.”.

Entah karena sudah mau penutupan atau memang sepakat, Erna melesat masuk ke ruangan, dan kemudian duduk di depan sidang.

Lalu Ia menawarkan nama Wahana dengan penjelasan arti wahana – sehingga namanya menjadi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

Baca Juga: Jadwal Acara RTV Hari ini Rabu 2 Juni 2021, Ada Boboiboy Galaxy, Kera Sakti, Ultraman, dan Power Ranger

Nama ini dianggap independen, tidak underbow kepada salah satu organisasi/parpol, serta mencerminkan nama khas Indonesia atau bukan nama asing.

Peserta mulai riuh kembali. Saling tanya dan berceletuk tentang nama tersebut. George Adjitjondro yang paling vokal soal nama mengacungkan jari dan menyatakan setuju dengan nama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

Beberapa lembaga kemudian juga mengacungkan jari tanda setuju. Ketika Erna menawarkan, bagaimana dengan nama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, mayoritas menyatakan setuju.

Maka pada Kamis malam, tanggal 15 Oktober 1980, palu diketok, nama disepakati: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Suasana haru malam itu, ketika peserta bergandeng tangan sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum penutupan.

Lilin ditiup oleh Erna sebagai tanda bahwa acara telah usai. Deklarasi dilakukan bersamaan dengan penutupan konferensi Pusat Studi Lingkungan (PSL) seluruh Indonesia.

Selain memutuskan pembentukan Wahana Lingkungan Hidup dengan mengadakan musyawarah periodik setiap dua tahun, juga dipilih sembilan anggota presidium periode 1980 – 1982 yang diketuai oleh Zen Rachman, dengan sekretaris eksekutif, Ir. Erna Witoelar.

Ketakutan indoktrinasi pemerintah ditandai dengan kesepakatan aktivis ornop untuk menetapkan tiga asas organisasi non pemerintah (ornop) yang bergabung dengan Walhi, yaitu asas mandiri, bekerjasama tanpa ikatan, dan bekerja nyata bersama dan untuk masyarakat.

Selain itu, dalam pertemuan tersebut, juga sudah muncul kesadaran bahwa intervensi pemerintah dalam NGO mencerminkan iklim demokrasi yang ada di Indonesia.

Untuk itulah, dibutuhkan kepekaan untuk membaca persepsi masyarakat, agar program yang dijalankan sesuai dengan keinginan rakyat.

Baca Juga: Jadwal Acara TV GTV dan RTV Rabu 2 Juni 2021, Ada Tayangan The Spongebob Squarepants Movie

Untuk itulah para aktivis LSM itu mendeklarasikan Walhi dalam bentuk forum sebagai bentuk yang paling dapat diterima saat itu, yaitu forum LSM lingkungan dengan sifat keanggotaan yang egaliter dan longgar, dan berperan sebagai forum komunikasi.

Untuk memudahkan koordinator Walhi membentuk presidium yang dijalankan oleh seorang sekretaris eksekutif.

Tugas presidium pertama Walhi dalam masa dua tahun kepengurusannya, terutama melakukan fungsi-fungsi kehumasan organisasi.

Hubungan dengan lembaga pemerintah dijelaskan sebagai hubungan yang tetap dijaga jaraknya dan bersifat timbal balik.

Dengan alasan tetap menjaga jarak, para aktivis itu menyatakan tidak bergabung atau membantu Emil di kementrian sebagai staf.

Hanya Linus Simanjuntak dari YIH yang membantunya sebagai sekretaris menteri karena ada kekosongan jabatan.

Maka pada Tanggal 18 Oktober, tiga hari setelah deklarasi Walhi, para aktivis ini diundang ke istana (Bina Graha) oleh Presiden Soerharto.

Menurut Zen Rachman, dalam menanggapi hasil pertemuan ornop tersebut, Presiden Soeharto mengatakan bahwa tidak semua pekerjaan kelestarian lingkungan hidup dapat dikerjakan oleh pemerintah.

Dengan adanya swadaya masyarakat untuk penanggulangan lingkungan hidup, maka akan dapat dijalankan lebih cepat usaha-usaha pelestarian yang sudah multak perlu.***

 

Editor: Emis Suhendi

Sumber: Walhi.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah