Pembubaran HTI Disamakan dengan PKI, Mahfud MD: PKI itu Kudeta, HTI Hukum Adminsitrasi

1 Oktober 2020, 06:51 WIB
Mahfud MD saat memberikan sambutan pada acara Focus Group Discussion (FGD) tentang Penanganan Ormas Radikal //Kemenkopolhukam

MANTRA SUKABUMI – Setiap jelang akhir September, isu Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan peristiwa G30S/PKI kembali menggeliat mengungkap sisi sejarah kelam yang kembali dimunculkan oleh beberapa kalangan.

Dengan beragam motivasi dan maksud, isu ini terus menggelinding memutar kembali sejarah untuk hadir dengan wajah kekinian, termasuk dihubungkan dengan organisasi lain yang dianggap sama gerakan dan perjuangannya.

Terbaru Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD ditanya persoalan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mahfud MD menjelaskan PKI dan HTI terdapat sisi hukum ada perbedaan pembubaran. Ia menilai kasus ini mempunyai dampak berbeda bagi kehidupan para pendukungnya di masyarakat.

Baca Juga: Kabar Gembira, Pemerintah Berikan Bantuan Rp 1 Juta, Cek Siapa Saja Penerimanya

Baca Juga: Mengharukan, Terdakwa Jaksa Pinangki Baca Surat Permintaan Maaf Ungkap Penyesalan

"Muncul pertanyaan, kenapa pemerintah membubarkan HTI, orang-orangnya kok masih? PKI kok, orangnya sudah enggak ada?," kata Mahfud dalam keterangan resmi, Rabu, 30 September 2020, sebagaimana dikutip mantrasukabumi.com dari RRI.

Mahfud mengatakan, dari sisi hukum ada perbedaan pembubaran PKI dan HTI.

"PKI karena hukum pidana, HTI hukum adminsitrasi. PKI itu kudeta, Undang-undang subversi. HTI tidak memberontak secara pidana. Kalau administrasi, bubarkan dulu, baru disidang. Kalau hukum pidana, jangan dihukum dulu, disidang dulu baru dihukum. Kalau perdata, harus kesepakatan. Misalnya orang nikah," terangnya.

Saat ini, kata Mahfud, Indonesia memang memiliki Undang Undang khusus untuk mengatur Organisasi Masyarakat (Ormas). Aturan ini juga mencakup soal pembubaran ormas yang rinciannya diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu).

Perppu, dikatannya mengatur pembubaran secara administratif, dan bukan secara pidana seperti Undang Undang subversi diterapkan dalam pembubaran PKI.

Baca Juga: Gatot Nurmantyo Dihadang Dandim Jakarta Selatan Hingga Singgung Sapta Marga

Baca Juga: Harga Emas Hari Ini di Pegadaian, Senin 1 Oktober  2020, Antam, Antam Retro, dan UBS

Mahfud menyatakan, HTI dianggap bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.

"Hizbut Tahrir jelas anti-NKRI. Mereka sebut Pancasila gagal. Demokrasi haram. Yang kemudian berdirinya negara khilafah jadi solusi dan mereka menolak negara kebangsaan," kata dia.

Tapi, Mahfud juga menyebut saat ini tidak sedikit ormas diduga melakukan aktivitas radikal, sehingga diduga bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

"Radikalisme tidak boleh dikembangkan, sudah pasti. Tapi kita belum bisa menindak pidana bila orang melakukannya," kata Mahfud.

 

Pemerintah resmi mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia pada Rabu 19 Juli 2017 melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.

Pencabutan itu merujuk dari aturan dalam Perppu Nomor 2 tentang Ormas yang kini sudah sah menjadi Undang Undang Ormas. Dalam Undang Undang Ormas, pemerintah dapat mencabut badan hukum ormas tanpa melalui proses pengadilan.

Baca Juga: Dianggap Mbalelo pada Presiden dalam kebijakan PSBB, Anies Baswedan Terancam Dicopot Jabatannya

HTI kemudian menggugat pembubarannya ke PTUN. Merujuk dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) di laman PTUN Jakarta, gugatan HTI bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT dan tertanggal 13 Oktober 2017. Dalam gugatannya, HTI meminta SK Nomor AHU-30.A.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan ditunda pelaksanaannya hingga ada kekuatan hukum yang mengikat.

Sedangkan, pembubaran PKI diatur dalam TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.**

Editor: Abdullah Mu'min

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler