Pemukiman Islam Tertua di Bali, Bermula dari Kisah Raja Gelgel Bersama 40 Prajurit Majapahit

- 28 April 2021, 16:57 WIB
Ilustrasi hujan melanda pemukiman penduduk
Ilustrasi hujan melanda pemukiman penduduk /Pixabay.com/tienthinphoto

MANTRA SUKABUMI – Selain dikenal sebagai pemukiman Islam tertua di Bali, Desa Kampung Gelgel juga diketahui sebagai salah satu objek wisata religius. Toleransi antarumat beragama di daerah ini acap memicu rasa penasaran wisatawan asing maupun domestik.

Kedekatan Kerajaan Klungkung pada Islam di Bali terjalin begitu dekat, sebagai potret kedekatan antara mereka, pada setiap bulan Ramadhan, Raja Klungkung beserta kerabat kerajaan melakukan kunjungan sambil ikut ‘Buka Bersama’ dengan pemimpin umat Islam di Masjid Nurul Huda yang menjadi bukti kedekatan mereka.

Perhatian Raja Klungkung, berawal dari kisah Dalem Ketut Ngelesir, Raja Gelgel yang memerintah pada 1383 dan berpusat di Desa Gelgel saat ini. Diketahui, semula Kerajaan Gelgel berada di Samprangan, Gianyar. Namun oleh Dalem Ketut Ngelesir kemudian dipindahkan ke Klungkung.

Baca Juga: Pangdam IX Udayana dan Shopee Indonesia Bantu Tuntaskan Krisis Air Bersih di NTT

Baca Juga: Tokoh Papua: KKB Papua Tidak Penting, yang Penting Geledah Bekas Sekretariat Ormas di Petamburan

Dalem Ketut Ngelesir sendiri naik tahta menggantikan sang kakak, Dalem Samprangan. Saat itu mereka berada di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit.

Dikutip mantrasukabumi.com dari laman indonesia.go.id, dalam berbagai literasi disebutkan, ketika menghadiri sebuah konferensi di Majapahit yang diadakan Prabu Hayam Wuruk pada 1384, Dalem Ketut Ngelesir mendapat keistimewaan.

Prabu Hayam Wuruk mempersembahkan 40 prajurit pilihan Majapahit untuk mengawal kepulangan Dalem Ketut Ngelesir ke Pulau Dewata. Ke-40 prajurit ini ternyata beragama Islam.

Dijelaskan dari buku Majapahit Sesudah Zaman Keemasannya, arkeolog Hasan Djafar menuliskan bahwa Islam diketahui sudah ada di Kerajaan Hindu-Buddha itu sejak 1281 Masehi dan 1368 Masehi, berdasarkan penemuan makam Islam kuno di Desa Tralaya, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, yang lokasinya tak jauh dari pusat Kerajaan Majapahit.

Baca Juga: Tanggapi Munarman Ditangkap Densus 88, Fahri Hamzah: Jangan Anggap Semua Musuh Negara

“Mengingat pemakaman ini letaknya tak jauh dari kedaton, di dalam kota Majapahit, dapat disimpulkan ini adalah pemakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam,” tulis Hasan Djafar.

Sebagai bentuk terima kasih, Dalem Ketut Ngelesir memberikan sebidang tanah di sisi timur kerajaan untuk tempat tinggal ke-40 prajurit.

Mereka kemudian mendirikan Masjid Nurul Huda di awal abad 14 dan sempat beberapa kali mengalami perbaikan sebelum akhirnya dibangun ulang berkonstruksi beton 2 lantai pada 1989. Mimbar khotbah masjid terbuat dari kayu jati berukir khas Bali, motif daun-daunan, dan sudah dipertahankan sejak 1836.

Sementara itu, para prajurit yang sebagian menetap ini kemudian menikahi perempuan setempat. Dan seiring waktu, mereka tinggal menyebar karena beranak pinak dan menjadi penyebar Islam ke sejumlah kawasan di Bali. Misalnya, ke Kampung Lebah, Kamasan, Kusamba, Pagayamanan, dan Kampung Toyapakeh di Pulau Nusa Penida.

Baca Juga: Tanggapi Munarman Ditangkap Densus 88, Fahri Hamzah: Jangan Anggap Semua Musuh Negara

Saat ini Desa Kampung Gelgel, selain dikenal sebagai permukiman Islam tertua di Bali, juga diketahui sebagai salah satu objek wisata religius.

Wisatawan asing dan domestik rupanya penasaran dengan toleransi antarumat beragama yang terjalin di daerah ini. Terlebih sekitar 200 meter dari Masjid Nurul Huda yang berada di Jl Waturenggong berdiri pula Pura Kawitan Pusat Pasek Gelgel Dalem Siwa Gaduh.

Toleransi tak hanya sebatas ngaminang. Warga juga kerap menjalankan tradisi ngejot atau saling berkirim makanan saat masing-masing memperingati hari raya keagamaan. Mereka seperti paham bahwa dalam setiap makanan, misalnya, tidak mengandung daging sapi ketika akan diberikan ke warga beragama Hindu.

Begitu pun sebaliknya, warga Hindu atau agama lainnya hanya mengirimkan makanan halal kepada saudaranya yang Muslim.

Baca Juga: Cuitan Mahfud MD Viral, Fadli Zon: Sebagai Akademisi Banyak Benarnya, kalau sebagai Pejabat Nilai Aja Sendiri

Ketika warga Hindu memperingati Nyepi, maka warga Desa Kampung Gelgel akan membantu tugas para pecalang mengamankan wilayah. Sebaliknya, jika warga Muslim menggelar salat Idulfitri dan Iduladha, maka warga umat lain akan turun tangan mengatur arus lalu lintas di sekitar lokasi salat.

Toleransi luar biasa ini ikut membantu meningkatkan angka Indeks Kerukunan Beragama (IKB) di Bali.

Pada survei yang diadakan Kementerian Agama di 2019, IKB Provinsi Bali mencapai 80,1 persen atau di atas rata-rata nasional sebesar 73,83 persen. Ini menempatkan Bali di urutan 3 besar nasional.***

Editor: Robi Maulana

Sumber: indonesia.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x