"Mereka tinggal di dalam gang-gang dengan berjejal-jejal, sempit dan becek. Rumah-rumah penduduk terbuat dari atap rumbiadan bambu," ucap sejarawan dan mantan aktivis mahasiswa yang mati muda tersebut. Keadaan yang berjejal membuat sinar matahari tidak dapat masuk ke dalam ruangan rumah. "Yang tentu saja saja merupakan surga bagi tikus," ujarnya.
Baca Juga: 2.481 ODP di Sukabumi, Ini Sebaran Daerah Terbanyak
Keadaan tersebut berpadu dengan kekurangan makan yang dialami warga sehingga wabah pun muncul. Ironisnya, langkah Pemerintah Kotapraja Semarang saat itu malah membakar rumah warga yang dianggap sarang tikus. Warga diberi waktu delapan hari untuk pindah.
"Penduduk miskin yang tidak punya apa-apa terang tidak mampu membangun rumah yang layak dalam waktu delapan hari," ucapnya. Tindakan-tindakan itu menyakiti dan membangkitkan masyarakat meskipun pemerintah membangun kembali perumahan rakyat karena tekanan berbagai organisasi rakyat. Persoalan tersebut menjadi bahan agitasi Sarekat Islam Semarang yang melancarkan kritik terhadap pemerintah kolonial.**