Selain itu, tim juga memanfaatkan data GPS dari 37 stasiun yang dipasang di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama enam tahun terakhir.
Hasil pengolahan data digunakan sebagai model simulasi numerik tinggi tsunami di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa jika terjadi gempa besar.
Jika deformasi GPS yang diamati lebih kecil daripada laju gerak lempeng (defisit slip), area tersebut berpotensi menjadi sumber gempa pada masa mendatang.
Baca Juga: Pilih Transaksi Digital Selama Masa PSBB, Simak Cara Top Up ShopeePay
Widyantoro menerangkan, pendekatan dan asumsi yang digunakan dalam studi ini serupa dengan yang digunakan untuk penelitian Palung Nankai di Jepang.
Dengan mengadopsi asumsi ini, area laju gerak lempeng yang tinggi bisa pecah secara terpisah atau bersamaan saat terjadi gempa.
Luas zona defisit slip di selatan Jawa Barat setara dengan gempa bumi bermagnitudo 8.9 dengan asumsi periode ulang gempa 400 tahun sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya.
Untuk periode ulang yang sama, zona dengan defisit slip tinggi di bagian timur setara dengan gempa bermagnitudo 8.8.
“Sedangkan jika kedua zona defisit slip tersebut pecah dalam satu kejadian gempa, maka akan dihasilkan gempa dengan kekuatan sebesar Mw 9.1,” kata Widiyantoro.
Baca Juga: Dinas Pertanian Cirebon, Pemerintah Wajibkan Pembelian Pupuk Bersubsidi Harus Menunjukkan Kartu Tani