"Polisi menerima laporan dari masyarakat bahwa sistem komputer dari lembaga survei itu diduga telah diretas dan sejumlah informasi pribadi publik bocor," kata pihak kepolisian lewat pernyataan tertulis.
"Penyelidikan masih berlangsung dan tidak ada orang yang ditangkap," tambah kepolisian.
Chung pada jumpa pers Sabtu pagi mengatakan ia khawatir informasi yang diambil kepolisian dapat digunakan untuk penyelidikan lain. Namun, ia berjanji akan melakukan apapun untuk melindungi para sumber. Chung tidak menyebutkan jenis data apa yang telah diambil kepolisian.
"Kami mendapatkan janji lisan mereka tidak menggunakan data itu untuk penyelidikan lain," kata Chung.
Baca Juga: Kunci Memperoleh Kekayaan Menurut Islam, Salah Satunya Menikah
Chung pada tahun keluar dari unit survei di University of Hong Kong dan membentuk lembaga survei independen, HKPORI. Ia kerap dikritik oleh kelompok pro-Beijing yang mempertanyakan akurasi hasil surveinya.
Eks anggota legislatif berpaham demokratis, Au Nok-hin, meyakini penggeledahan itu terkait dengan pemilihan pendahuluan. Ia percaya aksi kepolisian itu bertujuan menebar ketakutan di masyarakat.
HKPORI menggelar tiga survei untuk Reuters tentang bagaimana warga Kota Hong Kong menanggapi gerakan unjuk rasa pro-demokrasi yang telah berlangsung sejak 2019. Survei itu diadakan pada Desember 2019, Maret dan Juni 2020.
Baca Juga: Malam Minggu Seru Dirumah Aja, Berikut Aplikasi Tontonan Film yang Bisa Dinikmati
Hasil jajak pendapat terbaru HKPORI menunjukkan hampir sebagian penduduk Hong Kong mengatakan mereka "sangat menentang" Undang-Undang Keamanan Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah China di kota semi otonom itu.