Refleksi Akhir Tahun, Fadli Zon: 4 Argumen Demokrasi Alami Kemunduran di Era Jokowi

- 31 Desember 2020, 13:13 WIB
Refleksi Akhir Tahun, Fadli Zon: 4 Argumen Demokrasi Alami Kemunduran di Era Jokowi
Refleksi Akhir Tahun, Fadli Zon: 4 Argumen Demokrasi Alami Kemunduran di Era Jokowi /www.dpr.go.id/.*/www.dpr.go.id

MANTRA SUKABUMI - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon memberikan catatan sebagai refleksi akhir tahun.

Dalam catatan tersebut, Fadli Zon menyampaikan setidaknya ada empat argumen jika demokrasi mengalami kemunduran.

Catatan itu terjadi dalam era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Terlebih dalam kurun waktu setahun belakangan ini. Ia bahkan mengatakan kekuasaan oligarki justru semakin terkonsolidasi.

 Baca Juga: Nikmati Mudahnya Belanja Online di Merchant Baru ShopeePay 

Baca Juga: Beredar Isu Deklarasikan Front Persatuan Islam, Ruhut Sitompul: Jangan Coba-coba Lawan Pemerintah

Berikut catatan Fadli Zon sebagaimana dikutip mantrasukabumi.com dari akun Twitter miliknya pada Kamis, 31 Desember 2020.

"Pertama, dalam setahun terakhir, pemerintahan Jokowi telah memandulkan dua lembaga yg menjadi ikon demokrasi di Indonesia, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Allen Hicken, profesor Kajian Asia Tenggara di Universitas Michigan, ada dua lembaga penting yg jdi ikon demokrasi di Indonesia, dan keduanya, menurut Hicken, telah dikooptasi dan dimandulkan fungsinya di bawah pemerintahan Jokowi. Kedua lembaga itu adalah KPK dan MK.

Kita tahu, menjelang Omnibus Law Cipta Kerja disahkan, pemerintah dan DPR sebelumnya telah mensahkan revisi UU KPK dan UU MK. Sesudah UU MK direvisi, keputusan MK tak lagi bersifat mengikat DPR dan Pemerintah.

 Baca Juga: Staf Ahli Kominfo: Banyak yang Nyangka Kemarin Pembubaran FPI, Padahal Bukan

Kedua, terjadi penurunan sejumlah indikator vital dalam Indeks Demokrasi Indonesia. Meskipun indeks demokrasi Indonesia secara agregat membaik, namun menurut BPS (Badan Pusat Statistik) ada beberapa variabel vital yang skornya justru turun.

yaitu (1) kebebasan berbicara (turun dari 66,17 poin pada 2018 menjadi 64,29 poin pada 2019); (2) kebebasan berkumpul (turun dari 82,35 poin menjadi 78,03 poin); (3) peran partai politik (turun dari 82,10 poin menjadi 80,62 poin); dan (4) Pemilihan umum yang bebas dan adil (turun dari 95,48 poin menjadi 85,75 poin). Ini adalah variabel yang skornya paling anjlok.

Selain empat variabel yg turun tadi, ada bbrp variabel penting lain yg skornya masih tergolong buruk (di bawah 60), yaitu (1) ancaman kekerasan yg menghambat kebebasan berekspresi sebesar (57,35 poin); (2) persentase anggota dewan perempuan (58,63 poin); serta (3) demonstrasi kekerasan (30,37 poin). Dalam pengukuran Indeks Demokrasi, skor di bawah 60 dianggap sebagai indikator yang buruk bagi demokrasi.

Baca Juga: Deklarasikan Front Persatuan Islam, Hidayat Nur Wahid: Lanjutkan Perjuangan Membela Agama

Ketiga, kekuasaan makin terkonsentrasi di tangan Presiden dan eksekutif. Bayangkan, dengan bekal kekuasaan menerbitkan Perppu, Presiden kini bisa mengubah lebih dari lima undang-undang sekaligus, tanpa perlu lagi persetujuan DPR RI.

Contohnya adlh Perppu Corona 2020, yg mengubah 8 UU sekaligus, yaitu (1) UU MD3 yang mengatur kewenangan DPR, (2) UU Keuangan Negara, (3) UU Perpajakan, (4) UU Kepabeanan, (5) UU Penjaminan Simpanan, (6) UU Surat Utang Negara, (7) UU Bank Indonesia, dan (8) UU APBN 2020.

Selain itu, hanya dengan satu draf RUU, kini Presiden bisa mengubah 79 undang-undang sekaligus, seperti terjadi dengan Omnibus Law Cipta Kerja.

Perppu Corona dan Omnibus Law Cipta Kerja bukan hanya telah memperbesar kekuasaan Presiden di bidang legislatif, tapi juga memperbesar kekuasaan Presiden di bidang yudikatif. Ini adalah cermin kemunduran demokrasi yang sangat kentara.

 Baca Juga: FPI Resmi Dibubarkan, Guru Besar UI Prof. Ronnie H Rusli: FPI Dibubarkan Bisa Bertambah Besar

Dan keempat, kian besarnya impunitas yang dimiliki Presiden. Amandemen UUD 1945 sebenarnya telah memberikan perlindungan yang sangat besar kepada Presiden. Kini, Presiden tak bisa lagi dengan mudah dijatuhkan oleh DPR RI.

Namun, dengan dalih keadaan luar biasa, melalui Perppu Corona, impunitas yang dimiliki pemerintah kini jadi luar biasa. Presiden dan jajarannya tak lagi bisa diajukan ke muka pengadilan jika ada kebijakannya yang dianggap menyeleweng.

Selain Perppu Corona, kekuasaan Presiden kini juga kembali dilindungi oleh haatzaai artikelen dan lesse majeste. Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP mengenai penghinaan terhadap Presiden, yg sebenarnya sdh dibatalkan oleh MK pd 2006 lalu, kini dimasukan kembali dlm RUU KUHP yg baru.

Pasal-pasal tersebut, kita tahu, sudah dicabut MK pada 4 Desember 2006. Melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, dijelaskan bahwa aturan tersebut diputus dihapus karena tafsirnya yang “amat rentan manipulasi”, atau dengan kata lain bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.

 Baca Juga: Buntut Pembubaran FPI Oleh Pemerintah, Fahri Hamzah Minta Mahfud MD Lakukan Ini

MK menyatakan Pasal 134, Pasal 136BIS, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut Prof. Mardjono Reksodipuro, yang menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan di MK pada 2006, Presiden B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tak pernah menerapkan haatzaai artikelen selama menjabat presiden." ***

Editor: Encep Faiz


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah