GENERASI MUDA WAJIB TAHU, Inilah Kisah 7 Pahlawan Revolusi yang Terlibat Dakam Peristiwa G30S/PKI

- 1 Oktober 2020, 08:00 WIB
7 Pahlawan Revolusi Dibunuh Akibat Insiden G30S PKI.
7 Pahlawan Revolusi Dibunuh Akibat Insiden G30S PKI. /RRI/

MANTRA SUKABUMI – Pahlawan revolusi yang gugur dalam target penculikan kekejaman PKI, ada 7 Pahlawan. Mereka dibunuh sangat keji karena di tuduh melakukan makar terhadap pemerintah.

Setelah di jemput secara paksa 7 pahlawan ini di bawa ke sbuah tempat yang kita kenal dengan lubang buaya, sakis bisu penyiksaan keji PKI terhadap 7 Pahlawan revolusi kita.

Enam dan satu perwira tinggi yang menjadi korban penyiksaan tersebut di temukan di sumur tua pada 4 oktober 1965, oleh satuan Resimen Para Anggota Komando Angkatan Darat (RPKAD) di kawasan hutan karet Lubang buaya, Jakarta timur.

Baca Juga: Merchant Baru ShopeePay Minggu ini Penuh dengan Fesyen dan Makanan Lezat

Baca Juga: LINK FILM G30S/PKI Full Version HD Durasi 4 Jam 25 Menit Via Vidio.com

Seperti yang dilansir mantrasukabumi.com dari laman rri.co.id, bagaimana kisah dibalik ke tujuh pahlawan revolusi dalam peristiwa G30SPKI? Berikut ulasan singkatnya,

 

1. Jenderal Ahmad Yani

Ahmad Yani adalah satu di antara 6 jenderal yang terbunuh pelatuk senapan PKI pada 1 Oktober 1965 dini hari di kediamannya, Menteng, Jakarta Pusat. Lahir pada 19 Juni 1922 di Purworejo, Jawa Tengah, Ahmad Yani tutup usia di umur 43 tahun.

Diberitakan Harian Kompas, 14 Agustus 2017 lalu, pemandu Museum Jenderal Ahmad Yani, Sersan Mayor Wawan Sutrisno, mengungkapkan pasukan yang datang menyergap masuk melalui pintu belakang dan membunuh Sang Jenderal saat itu juga. Semetara, yang lain ada yang bertugas menyekap pasukan penjaga rumah Ahmad Yani, ada juga yang bertugas mengepung rumah itu.

 

2. Mayjen R Soeprapto

Berdasarkan informasi dari laman Sejarah TNI, pada 30 September 1965, Soeprapto baru saja melakukan pencabutan gigi sehingga pada malam harinya merasa tidak nyaman dan tidak bisa tertidur. Di saat itu, Suprapto menyelesaikan lukisan yang niatnya akan diserahkan kepada Museum Perjuangan di Yogyakarta.

Sekitar pukul 04.30 pagi di keesokan harinya, rombongan penculik menghampiri rumahnya. Anjing menggonggong, Soeprapto pun bertanya siapa yang ada di luar. Rombongan di luar menjawab "Cakrabirawa", mengetahui hal itu tanpa rasa curiga apa pun Suprapto yang masih dalam keadaan mengenakan piyama dan sarung keluar menemui mereka.

Pasukan itu mengatakan Suprapto diminta menemui Soekarno saat itu juga. Sebagai prajurit yang patuh pada pimpinan tertingginya, Suprapto mengiyakan. Namun, ia meminta izin untuk terlebih dulu berganti pakaian. Permintaannya tidak diizinkan, dan justru langsung menodong Suprapto dengan senjata dan sebagian memegang tangannya, sembari membawanya ke luar untuk dinaikkan ke atas truk yang sudah menunggu.

Rupanya, Jenderal asal Purwokerto, Jawa Tengah, ini dibawa ke Lubang Buaya. Di sana, ia dianiaya dalam keadaan tubuh terikat. Selanjutnya, jenazahnya dilemparkan begitu saja ke dalam lubang sumur yang sempit, yang juga menjadi lokasi pembuangan jasad korban penculikan yang lain.

 

3. Mayjen MT Haryono

Dari arsip Harian Kompas, 23 November 1965, mayat M.T. Haryono ditemukan di sumur Lubang Buaya, nomor dua dari bawah, di atas jenazah D.I Panjaitan. Sebelumnya, M.T Haryono yang dikenal sebagai penyayang anak ini diberondong peluru di kediamannya, saat mencoba melawan rombongan yang datang dan menculiknya.

Sayangnya, jumlah lawan terlalu besar, banyak peluru yang akhirnya bersarang di tubuh Haryono. Ia pun ambrug dan diseret naik ke atas truk rombongan penculik. Diduga, ketika itu Haryono sudah dalam kondisi tidak bernyawa.

Istrinya yang mengetahui kejadian ini segera mengunci anak-anaknya dalam kamar dan mengemudikan mobil sendiri ke kediaman Ahhmad Yani, dengan maksud melaporkan apa yang terjadi. Namun, di kediaman Ahmad Yani rupanya terlihat terjadi hal serupa. Tidak kehabisan akal, istri Haryono langsung balik arah ke kediaman S. Parman, namun sayang keadaan yang sama kembali ia temukan.

 Baca Juga: Gatot Nurmantyo Dihadang Dandim Jakarta Selatan Hingga Singgung Sapta Marga

4. Mayjen S. Parman

Parman disergap pada 1 Oktober 1965 sekira pukul 04.00 WIB. Berdasarkan arsip Harian Kompas, 23 Oktober 1965, perwira yang pernah berjuang di peristiwa Madiun, APRA, D.I. Jawa Barat dan Jawa Tengah ini tidak menyadari kedatangan rombongan penculik, karena menggunakan seragam Cakrabirawa.

Rombongan itu mengatakan suasana di luar genting, bahkan mereka ikut masuk ke kamar tidur saat Parman berganti pakaian. Laki-laki bernama lengkap Siswondo Parman ini pun dibawa pergi. Saat itu, rumahnya tidak ada yang menjaga, hanya ada istri dan anaknya di sana. Penculikan itu berjalan dengan lancar.

 

5.Brigjend D.I. Panjaitan

D.I. Panjaitan diculik pada 1 Oktober 1965 waktu subuh. Pasukan berseragam yang datang dengan menggunakan dua buah truk langsung mengepung rumah Panjaitan dari segala penjuru arah. Tapi, ia mengira pasukan itu ditugasi untuk menjemput dirinya agar bertemu dengan Soekarno.

Panjaitan pun berpakaian rapi, resmi, lengkap dengan topi, layaknya akan pergi ke satu upacara. Namun tanpa diduga, pasukan itu justru menembaki barang-barang yang ada di rumahnya hingga hancur berserakan. Melihat kondisi seperti itu, Panjaitan yang merupakan seorang umat beragama yang taat menolak untuk menggunakan kekuatan para penjaga di rumahnya, meskipun sudah beberapa kali diperingatkan.

Ia percaya hanya Tuhan yang akan melindungi dirinya. Akhirnya, ia turun dari kamarnya di lantai 2 dan menemui rombongan itu. Jenderal asal Tapanuli itu sempat melawan, sehingga ia ditembak di halaman rumahnya seketika itu juga, dan langsung dibawa pergi.

Baca Juga: Hukum Mengambil Upah Hasil Jerih Payah dari Membaca Alquran dan Mengajarkannya

6. Brigjen Sutoyo Siswodiharjo

Merujuk arsip Harian Kompas, 19 November 1965, penculikan Sutoyo terjadi pada 1 Oktober 1965 pagi. Rombongan datang ke rumah Sutoyo dan mengamankan lokasi di sekitar jalan rumahnya, orang dilarang melintas dan hansip yang berjaga dibuat tidak berdaya.

Pasukan yang masuk ke dalam rumah pun memaksa pembantu yang ada di sana untuk memberikan kunci agar bisa menemukan sasaran operasi, Sutoyo. Sutoyo dipanggil dan disebut diminta untuk menemui Soekarno di Istana Kepresidenan.

Setelah memenuhi panggilan itu, Sutoyo pun diajak untuk naik ke truk, kendaraan yang digunakan rombongan penculik. Saat di atas truk itu, Sutoyo diikat tangannya dan ditutup matanya. Lalu, ia diturunkan di sebuah rumah dekat Lubang Buaya. Pagi hari sekitar pukul 07.00 WIB, suara tembakan beberapa kali terdengar. Dan jenazah dari Sutoyo pun dimasukkan ke sumur dengan ditutup menggunakan sampah dan daun-daun.

Baca Juga: Bela Palestina di Markas PBB, Presiden Jokowi Bikin Dunia Terpesona

7. Lettu Pierre Andreas Tendean

Sesungguhnya, laki-laki keturunan Perancis ini bukan sasaran para penculik. Namun Tendean saat 1 Oktober 1965 pagi tengah berada di rumah Jenderal A.H. Nasution, atasannya, yang merupakan target sesungguhnya.

Saat rombongan itu datang dan bertanya kepada Tendean, apakah dia adalah A.H. Nasution, tanpa ragu Tendean menjawab, "Ya, saya lah Jenderal Nasution", meski ia tahu apa risikonya. Tindakan itu ia lakukan agar sang Jenderal bisa selamat.

Dan benar, A.H. Nasution memang lolos dari penculikan. Padahal, Tendean sebenarnya bisa saja mengatakan yang sejujurnya dan terbebas dari kekejaman yang pada ujungnya menjadi akhir hidupnya.**

 

Editor: Fauzan Evan

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x