BMKG: Fenomena La Nina Moderate Sudah di Depan Mata, Trend Gempa Naik dan Berpotensi Tsunami

- 10 Oktober 2020, 13:20 WIB
Logo BMKG
Logo BMKG /BMKG



MANTRA SUKABUMI – La Nina, merupakan fenomena iklim yang mengalami pendinginan yang tidak biasa, dengan periode pengulanngan berkisar 2 sampai 7 tahun sekali.

La Nina terbentuk ketika angin passat (trade wind), akibatnya air laut yang dingin naik kepermukaan, pembentkan awan menguat seiring dengan sirkulasi Walker juga menguat.
Dampak dari fenomena La Nina berupa peningkatan curah hujan, berpotensi timbulkan bencana seperti banjr dan longsor.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), NOAA, JMA, dan BoM Australia memastikan akan terjadinya fenomena La Nina pada level moderate seiring dengan dimulainya awal musim hujan pada bulan Oktober - November.

Baca Juga: Ubi Jalar, Selain Pengganti Nasi Ternyata Sangat Berkhasiat dan Bermanfaat Untuk Kesehatan

Baca Juga: Hukum Memanggil Haji atau Hajah Padahal Belum Melaksanakan Ibadah Haji

Dikutip mantrasukabumi.com dari infopublik.id, bahwa hal ini berpotensi menyebabkan peningkatan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.

"Dengan adanya fenomena La Nina moderate ini diprediksi akan ada peningkatan curah hujan mulai Oktober sampai November, dan akan berdampak di hampir seluruh wilayah Indonesia, kecuali di Sumatera. Oleh karena itu saya mengajak bapak dan ibu semua untuk bersiap, karena ini sudah di depan mata," ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, Jumat 9 Oktober 2020.

Dwikorita menambahkan, catatan historis menunjukkan bahwa La Nina dapat menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi curah hujan bulanan di Indonesia 20 persen hingga 40 persen di atas normalnya, bahkan bisa lebih.

Namun demikian, dampak La Nina tidak seragam di seluruh Indonesia. Pada bulan Oktober - November 2020, diprediksikan peningkatan curah hujan bulanan dapat terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia kecuali Sumatra.

Baca Juga: Bahaya, Jangan Makan Tutut Dapat Sebabkan Penyakit Schistosimiasis

Selanjutnya, pada Desember hingga Februari 2021, peningkatan curah hujan akibat La Nina dapat terjadi di Kalimantan bagian timur, Sulawesi, Maluku - Maluku Utara dan Papua.

Sementara itu, untuk data kejadian gempa bumi, imbuh Dwikorita, berdasarkan data monitoring kegempaan yang dilakukan BMKG, sejak tahun 2017 telah terjadi trend peningkatan aktivitas gempabumi di Indonesia dalam jumlah maupun kekuatannya.

Kejadian gempabumi sebelum tahun 2017 rata-rata hanya 4000-6000 kali dalam setahun, yang dirasakan atau kekuatannya lebih dari 5 sekitar 200-an.

Namun setelah tahun 2017 jumlah kejadian itu meningkat menjadi lebih dari 7000 kali dalam setahun. Bahkan tahun 2018 tercatat sebanyak 11920 kali dan tahun 2019 sebanyak 11588 kejadian gempa.

Baca Juga: Wajib Tahu, 6 Manfaat Daun Pepaya Jepang Salah Satunya Dapat Cegah Anemia

"Ini bukan lagi peningkatan, tapi sebuah lonjakan yang cukup signifikan. Dengan data dan fakta bahwa kejadian tsunami yang terjadi di dunia sebagian besar dipicu oleh gempabumi tektonik, tentunya trend kejadian gempa yang melonjak ini juga mengakibatkan meningkatnya potensi tsunami. Sehingga perlu diperkuat kehandalan Sistem Mitigasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami, mengingat hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi kapan terjadinya gempabumi," jelas Dwikorita.

Lain daripada itu, fakta menunjukkan, bahwa potensi terjadi tsunami tidak hanya dipicu oleh gempabumi tektonik.

Pada Desember 2018, terjadi peristiwa typical tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 yang diakibatkan oleh aktivitas gunung api di laut yang menurut statistik, kejadian tsunami tersebut sangatlah langka yaitu sebanyak 5 persen dari total kejadian tsunami di dunia.

Berdasarkan data tersebut, Dwikorita menjelaskan mitigasi serta peringatan dini gempabumi dan tsunami serta cuaca dan iklim ekstrem merupakan hal yang mendesak untuk dipersiapkan dan diperkuat.

Baca Juga: Update Harga Emas Antam Terbaru Hari Ini Sabtu, 10 Oktober 2020, Naik Rp.12.000 Per Gram

Masalah dan gap antara pusat dan daerah harus segera diidentifikasi untuk meningkatkan efektivitas dalam mewujudkan Zero Victims.

"Sebagai contoh, pada 6 Oktober kemarin kami baru saja melaksanakan gladi evakuasi tsunami IOWave 20 yang diselenggarakan secara nasional dan internasional. Di situ teridentifikasi ternyata beberapa sirine tsunami tidak berfungsi, sementara untuk memperbaiki atau mengganti sudah tidak ada yang menyediakan suku cadangnya. Ini adalah masalah teknis atau mikro tapi dampaknya bisa besar sehingga perlu koordinasi yang lebih baik antara pusat dengan daerah, antara BNPB sebagai Koordinator dengan Kepala Daerah atau BPBD," tutur Dwikorita.

Sehingga, Dwikora mengajak semua pihak terkait untuk merumuskan bersama alternatif solusi dari permasalahan-permasalahan yang nanti akan teridentifikasi.

Kemudian pada akhirnya akan dirumuskan rencana aksi bersama untuk mewujudkan Zero Victims dalam menghadapi multi bencana hidrometeorologi, gempabumi, dan tsunami.

Baca Juga: Debat Calon Presiden AS 15 Oktober Secara Resmi Dibatalkan

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dalam Rakornas Virtual Antisipasi Bencana Hidrometeorologi dan Gempabumi Tsunami Tahun 2020 hingga 2021.

Telah mengimbau seluruh Kementerian atau Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk bersinergi dalam merespon informasi potensi bencana yang disampaikan oleh BMKG.

"Saya mendapatkan informasi dari Kepala BMKG bahwa peningkatan curah hujan akibat La Nina ini bisa sampai 40 persen. Jadi tolong ini disikapi secara serius. Semua pimpinan K/L, Gubernur, Bupati wajib meningkatkan kewaspadaan, apalagi kita masih dalam kondisi pandemi Covid-19," tegas Luhut.

Menurut Menko Luhut, kemajuan teknologi yang dimilik oleh BMKG saat ini dapat memudahkan siapapun untuk mengakses informasi peringatan dini yang dikeluarkan oleh BMKG.

Baca Juga: Debat Calon Presiden AS 15 Oktober Secara Resmi Dibatalkan

Oleh karena itu, Luhut meminta para pimpinan K/L dan daerah menjadikan informasi BMKG sebagai referensi dalam pengambilan kebijakan.

FENOMENA La Nina

Berdasarkan penjelasan dari BMKG, La Nina secara umum dapat dikatakan sebagai fenomena iklim yang berlawanan dengan El Nino. Jika peristiwa El Nino dikaitkan dengan pemanasan di Pasifik tropis bagian tengah dan timur.

Maka fenomena La Nina adalah pendinginan yang tidak biasa, dimana anomali suhunya melebihi minus 0,5 derajat celcius di area yang sama dengan El Nino.

La Nina merupakan anomali sistem global yang cukup sering terjadi dengan periode ulang berkisar antara 2 sampai 7 tahun.

Baca Juga: BLT BPJS Ketenagakerjaan Tahap 5 Bisa Hangus, Berikut 6 kesalahannya

Kejadian La Nina terjadi saat Samudera Pasifik dan atmosfer di atasnya berubah dari keadaan netral (normal) pada periode waktu 2 bulan atau lebih.

Perubahan di Samudera Pasifik dan atmosfer yang ada di atasnya ini terjadi dalam siklus yang dikenal dengan sebutan ENSO (El Nino – Southern Oscillation).

Saat itu, atmosfer dan lautan saling berinteraksi, memperkuat satu sama lain, dan menciptakan putaran yang saling memperkuat perubahan kecil di lautan.

Jika kopel (couple) antara lautan dan atmosfer sudah sepenuhnya terjadi maka ENSO dikatakan telah terbentuk.

Baca Juga: BLT BPJS Ketenagakerjaan Tahap 5 Bisa Hangus, Berikut 6 kesalahannya

MEKANISME TERBENTUKNYA La Nina

Secara singkat, mekanisme terbentuknya La Nina dijelaskan sebagai berikut:

Saat Angin Passat (trade wind), kolam air laut yang hangat dapat mencapai lebih jauh ke Pasifik barat. Hal ini termasuk pula Indonesia sehingga Perairan Indonesia lebih hangat dari biasanya.

Adapun Samudera Pasifik bagian tengah akan lebih dingin dari biasanya dan termoklin akan lebih dangkal di timur.

Akibatnya, air laut lebih dingin dari level bawah naik ke permukaan sebagai penguatan upwelling. Konveksi dan pembentukan awan menguat di wilayah Indonesia, seiring dengan sirkulasi Walker juga menguat.

Baca Juga: Armenia-Azerbaijan Sepakat Gencatan Senjata pada Tengah Malam, Usai Hampir 2 Pekan Bertempur

DAMPAK UTAMA La Nina

Secara umum dampak utama dari fenomena La Nina ke cuaca atau iklim di Indonesia adalah timbulnya peningkatan curah hujan.

Akan tetapi, kondisi topografi di Indonesia yang berbeda-beda maka dampak La Nina di Indonesia pun tidak seragam di seluruh wilayah.

Berdasarkan kajian ilmiah dari histori kejadian-keadian sebelumnya, dampak La Nina berupa peningkatan curah hujan terjadi terutama di bagian tengah dan timur wilayah Indonesia.

Baca Juga: 9 Manfaat Bunga Saffron yang Jarang diketahui, Salah Satunya Meningkatkan Gairah Seksual

Curah hujan yang tinggi ini akan menimbulkan rentetan bencana lainnya, yaitu bencana hidrometeorologis seperti banjir dan longsor.**

Editor: Emis Suhendi

Sumber: infopublik.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah