Jadi, dari dulu kitab suci juga ditandingi dengan kitab-kitab yang tidak penting. Kan manusia itu suka hal yang tidak penting, hal yang ringan.
Nah, Nadhor bin Harits itu orangnya pintar. Jadi, dia menjual buku-buku, cerita-cerita fiktif, cerita yang aneh-aneh agar orang Islam tidak sibuk belajar Al-Qur’an.
Jadi, lahwal hadits (لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ) kalau menurut Imam Suyuthi tidak menyangkut musik. Lalu ada ulama yang menganggap lahwal itu musik, ya dangdutan, macam-macam, tapi itu salah!
Tetapi, tetap musik yang seronok tetap haram, cuma itu pakai kias (قياس).
Mengimpor buku dari Persia itu supaya orang belajar buku itu kemudian meninggalkan Al-Qur’an. Kemudian orang yang suka musik yang menghibur dan yang maksiat itu juga nanti akibatnya orang meninggalkan Al-Qur’an.
Jadi, khilafnya ulama itu menyangkut asbabun nuzul (أسباب النزول) bukan menyangkut hukumnya (musik).
Kalau menyangkut hukumnya sama, mau buku, musik, atau apa saja, yang kira-kira menggantikan fungsi orang Islam belajar Al-Qur’an itu termasuk:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشْتَرِى لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna…” (Q.S. Luqman: 6)
Paham nggeh? Jadi itu hukumnya sama. Khilafnya di asbabun nuzul ayat.