Ini Versi UU Cipta Kerja yang Resmi, Setelah Ditandatangani Presiden Jokowi

3 November 2020, 10:05 WIB
Presiden Joko Widodo Tandatangani UU Cipta Kerja, Total Halaman UU Berjumlah 1.187 Halaman /Instagram.com/@jokowidodo/

MANTRA SUKABUMI - Setelah UU Cipta Kerja disahkan DPR dalam rapat paripurna, pada 5 Oktober 2020 lalu. UU Cipta Kerja masih menjadi polemik.

Selain draft UU Cipta Kerja yang simpang siur, isi Omnibus Law UU Cipta Kerja juga menjadi sorotan dan dipermasalahkan banyak pihak.

Kini UU Cipta Kerja sudah resmi diundangkan pada 2 November 2020, dengan mendapat nomor UU Nomor 11 Tahun 2020.

Baca Juga: Solusi NIK KTP Tidak Terdaftar di eform.bri.co.id/bpum, Ikuti Cara Ini Agar Dapat UMKM Rp 2,4 juta

Baca Juga: Cek Fakta: Viral Prabowo Tak Terima Anggota TNI Dikeroyok Penggguna Moge, Cek Faktanya Disini

Sebagaimana dilansir Mantrasukabumi.com dari Antaranews, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sehingga resmi menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dilihat dari laman setneg.go.id, UU No 11 tahun 2020 tersebut ditandatangani pada Senin, 2 November 2020 dengan nomor Lembaran Negara (LN) 245 dan nomor Tambahan Lembar Negara (TLN) 6673.

Total halaman undang-undang tersebut berjumlah 1.187 halaman seperti yang terakhir disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Terdapat total XII bab dalam UU tersebut antara lain peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; ketenagakerjaan; kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan UMKM; kemudahan berusaha; kebijakan fiskal nasional; dukungan riset dan inovasi.

Dalam pertimbangan UU tersebut dinyatakan bahwa UU CIpta Kerja "diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi".

Selanjutnya "untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan
dan kesejahteraan pekerja.

Baca Juga: Polda Metro Jaya Fasilitasi Layanan SIM Keliling, Pusat Perbelanjaan dan Kampus Wilayah DKI Jakarta

UU Cipta Kerja ini memuat 11 klaster, 15 bab, 186 pasar, dan merevisi 77 undang-undang.

Sebelumnya, beberapa organisasi seperti MUI, NU dan Muhammadiyah menerima draft UU Cipta Kerja yang jumlahnya berbeda dengan yang diserahkan kepada pemerintah.

Tak hanya soal jumlah halaman, belakangan, diketahui ada sebuah pasal yang hilang dari draft UU Cipta Kerja.

Hal ini seperti dikutip mantrasukabumi.com dari akun Twitter politisi PKS, Hidayat Nur Wahid, @hnurwahid yang mengunggah sebuah postingan pada 23 Oktober 2020.

"Ketua Baleg DPR RI akui ada pasal UU Ciptaker yg dihapus olh Sekretariat Negara (1 psl&4 ayat). Menkopolhukam @mohmahfudmd
 nyatakan :”perubahan isi UU sesudah paripurna DPR,cacat formal”. Bila faktanya demikian, wajarnya Pemerintah dan DPR menolak UU yg cacat legal dan formal itu," tulis akun @hnurwahid seperti dikutip Mantrasukabumi.com

Benar saja, dikutip Mantrasukabumi.com dari RRI, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas membenarkan adanya penghapusan pasal di UU Cipta Kerja.

“Itu benar, kebetulan Setneg yang temukan. Jadi itu seharusnya memang dihapus, karena itu terkait dengan tugas BPH (Badan Pengatur Hilir) Migas,” kata Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas kepada wartawan, Kamis 22 Oktober 2020.

Pasal yang dimaksud adalah pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menurutnya harus dihapus dari Undang Undang Cipta Kerja itu.

Baca Juga: LINK Cek Penerima BPUM BRI Melalui eform.bri.co.id/bpum, Segera Daftar JIka Belum Dapat Bantuan

Supratman menjelaskan, awalnya pemerintah berkeinginan mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Tetapi, keinginan tersebut tidak disetujui oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja.

Namun dalam naskah yang tertulis, pasal tersebut masih ada dalam draf UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman dikirim oleh Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar.

Baleg, kata Supratman, juga telah memastikan pasal tersebut seharusnya dihapus.

“Itu benar seharusnya tidak ada, karena seharusnya dihapus. Karena kembali ke undang-undang eksisting, jadi tidak ada di UU Cipta Kerja,” ujar Supratman.

Kendati demikian, kata ia, perubahan itu sama sekali tak mengubah substansi telah disetujui di tingkat Panja.

Termasuk dihapusnya Pasal 46 UU 22/2001, sebab di tingkat Panja hal itu memang seharusnya dihapus.

“Jadi, itu kan soal penempatan saja dan koreksi, tidak mengubah isi sama sekali,” tegas Supratman.

Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Lampung, Dr. Budiono menyebut penghapusan pasal ini sebagai sebuah kejahatan.

Hal ini seperti dikutip Mantrasukabumi.com dari akun YouTube Hersubeno Point yang mengunggah sebuah video pada 23 Oktober 2020.

"Semua orang ini lagi bingung, karena kita membaca berita, dari draft terkahir yang diterima oleh Muhammadiyah dan MUI, juga NU, itu ada perubahan-perubahan halaman, dan yang paling penting adalah pasalnya.

Baca Juga: BTS Berhasil Raih Top 10 Pertama di Billboard Radio Airplane Charty dengan Lagu 'Dinamite'

Saya akan mengajak anda berbicara dengan pakar hukum Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Lampung, Dr. Budiyono," ujar Hersubeno Arief.

"Kali ini dijamin tidak hoax ini, karena soal perubahan pasal ini juga diakui oleh Ketua Badan Legislasi di DPR ya!.

Dikatakan memang ada pasal-pasal yang berkaitan dengan Migas yang dihapuskan, dari sisi hukum Tata Negara, ini bagaimana kita melihatnya?.

Apakah boleh perubahan semacam ini?," tanya Hersubeno Arief.

"Minggu-minggu ini kita diperlihatkan, dipertontonkan dengan sebuah ini, ketololan atau ini kecerobohan.

Saya, bingung juga gitu ya. Karena kita ketahui memang  Undang-undang Omnibus Law ada yang 800 halaman, ada yang 1000, bahkan yang terakhir yang dari MUI, dari Muhammadiyah itu, menerima seribu lebih halaman.

Padahal MPR kemarin, DPR kemarin menyerahkan 800 ya? 800 halaman.

Menurut saya ini tidak boleh ini. Yang harus diterima adalah yang disetujui atau yang memperoleh persetujuan pada waktu sidang paripurna DPR," ujar Budiyono.

Ia lalu menjelaskan bahwa yang boleh mengalami perubahan adalah hal-hal yang bersifat teknis.

Seperti pengetikan, titik koma, tapi tidak menyangkut hal-hal yang substansial.

"Saya curiga dari 800 halaman lebih, tiba-tiba berubah menjadi 1000 halaman lebih, ini ada perubahan pasal, mungkin ada penyelundupan pasal.

Yang sampai saat ini, publik tidak diberikan akses informasi yang jelas," terang Budiyono.

"Ini kan clear, diakui bahwa, ada pasal-pasal yang berkaitan dengan migas yang dikeluarkan dan disebutkan bahwa, seharusnya memang tidak masuk dalam Omnibus Law, itu masuk, diatur dengan aturan yang lain.

Baca Juga: Dunia Sorot Kesiapan Pariwisata Indonesia, Bali Jadi Contoh Tujuan Wisata Aman COVID-19

Ini kan jelas clear, bukan cuma format dari tulisan, titik koma, tapi ada pasal yang dihilangkan, dan itu kita tidak tau kalau ada pasal baru yang dimasukkan," sahut Hersubeno Arief.

"Pernah dulu ada anggota DPR memasukkan pasala tertentu dalam suatu Undang-undang yang sudah disetujui, menurut saya, ini adalah salah satu bentuk kejahatan.

Dan kejahatan itu diperlihatkan oleh negara, dalam hal ini penyelenggara negara.

Pertanyaan saya adalah, apa punya kewenangan seorang Mensesneg? kalau dalam berita itu?.

Dia punya kewenangan tidak? Ini menurut saya suatu kejahatan dalam tanda kutip yang harus bisa dipertanggung jawabkan," ujar Budiyono.**

Editor: Emis Suhendi

Tags

Terkini

Terpopuler