MANTRA SUKABUMI - Djoko Tjandra (DjokTjan) merupakan terdakwa kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali kini telah tertangkap.
Ia ditangkap oleh kepolisian RI di Malaysia hasil kerjasama dengan pemerintah dan otoritas keamanan setempat pada Kamis, 30 Juli 2020.
Seantero negeri dibuat heboh oleh buronan korupsi yang satu ini. Dengan leluasanya ia keluar-masuk Indonesia dalam keadaan berstatus terdakwa.
Baca Juga: Berkah Idul Adha, Buronan Djoko Tjandra Berhasil Ditangkap
Baca Juga: Hadir Saat Konferensi Pers di Polresta Bandar Lampung, Vernita Syabilla: Saya Masih Utuh Berpakaian
Tentu kebebasan yang ia miliki ditopang oleh oknum-oknum yang di instansi terkait. Karena, administrasi dan surat menyurat dibantu oleh negara sendiri, dari tingkat kelurahan, hingga menyeret polisi berpangkat jenderal.
Djoko Tjandra jejak kasusnya bukanlah waktu yang sebentar. Berikut tim Mantrasukabumi.com rangkum yang dikutip dari rri.co.id pada Jumat, 31 Juli 2020.
27 September 1999
Kejaksaan Agung mulai mengusut perkara korupsi Djoko Tjandra sebagaimana laporan dari Bismar Mannu, Direktur Tindak Pidana Korupsi kepada Jaksa Agung.
29 September 1999-8 November 1999
Kejaksaan Agung menahan Djoko Tjandra
Baca Juga: Seluruh Provinsi Dapat Sapi untuk Qurban dari Presiden Jokowi
9 November 1999-13 Januari 2000
Kejaksaan memutuskan Djoko Tjandra menjadi tahanan kota.
14 Januari 2000-10 Februari 2000
Kejaksaan kembali manahan Djoko Tjandra
9 Februari 2000
Terdakwa Djoko Tjandra diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
10 Februari 2000-10 Maret 2000
Djoko Tjandra kembali menjadi tahanan kota berdasarkan ketetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Baca Juga: Terungkap, Segini Tarif Vernita Syabilla dalam Sekali Kencan
6 Maret 2000
Bebas dari tahan kota, kemudian jaksa mengajukan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.
31 Maret 2000
Permohonan perlawanan Djoko Tjandra ke Pengadilan Tinggi dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
19 April 2000
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk Soedarto (hakim ketua majelis), Muchtar Ritonga dan Sultan Mangun (hakim anggota) sebagai hakim yang memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.
April 2000-Agustus 2000
Perlawanan jaksa pun membuahkan hasil. Proses persidangan Djoko Tjandra pun mulai bergulir. Djoko Tjandra didakwa jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.
Baca Juga: Seorang Mahasiswa Diancam Hukuman 12 Tahun Tanam Ganja di Pot Bunga
Lalu Djok Tjandra pun dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara, dan dituntut membayar denda Rp30 juta subsider enam bulan kurungan, serta harus membayar biaya perkara sebesar Rp 7.500.
Sementara itu, uang sebesar Rp 546 miliar milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account Bank Bali agar dikembalikan pada negara.
28 Agustus 2000
Dalam putusan majlis hakim menyatakan bahwa Djoko Tjandra lepasa dari segala tuntutan. Menurutnya, dakwaan dari JPU terhadap perbuatan Djok Tjandra terbukti secara hukum.
Namun perbuatan Djoko Tjandra tidak termasuk dalam perbuatan pidana, melainkan perbuatan perdata, sehingga Djoko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum.
21 September 2000
Selaku JPU, Antasari Azhar akhirnya mengajukan kasasi.
Baca Juga: Menhan Prabowo akan Borong Pesawat Tempur, DPR Sebut Rencananya Terganjal UU Industri Pertahanan
26 Juni 2001
Majelis hakim Agung MA melepaskan DjokTjan dari segala tuntutan. Putusan itu diambil dengan mekanisme voting dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo Alkostar mengenai permohonan kasasi DjokTjan yang diajukan oleh JPU.
12 Juni 2003
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk meminta petunjuk. Permintaan ini akhirnya tak terwujud dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan BPPN.
17 Juni 2003
Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan di atas.
Kemudian BPPN meminta fatwa MA dan penundaan eksekusi keputusan MA yang memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan DjokTjan. Alasannya, ada dua keputusan MA yang bertentangan.
Baca Juga: ICC Selidiki Kejahatan Perang Israel, Warga Gaza Tak Melihat Keadilan dan Susah Lupakan Kejadian
25 Juni 2003
Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya menyatakan MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
1 Juli 2003
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Antasari Azhar menyatakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat dalam proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.
2 Maret 2004
Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus Martowardojo dipanggil oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana senilai Rp 546 miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Djoko Tjandra dan politikus Partai Golkar Setya Novanto.
Baca Juga: Usai Gibran, Kembali Adik Ipar Jokowi Wahyu Purwanto Maju Jadi Bakal Calon Bupati Gunung Kidul
Oktober 2008
Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra ke Mahkamah Agung.
11 Juni 2009
Majelis Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Jaksa.
Selain hukuman penjara dua tahun, Djoko Tjandra juga harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.
Selain itu, pihak imigrasi juga mencekal Djoko Tjandra. Pencekalan ini juga berlaku bagi terpidana kasus cessie Bank Bali lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI ini divonis 2 tahun penjara.
Baca Juga: Turki Dukung Azerbaijan Terkait Konflik dengan Armenia dengan Menggelar Latihan Militer Bersama
16 Juni 2009
Saat akan dilakukan ekseksui, Djoko mangkir dari panggilan Kejaksaan. Djoko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang, namun kembali tidak menghadiri panggilan Kejaksaan, sehingga Djoko dinyatakan sebagai buron.
Djoko diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua New Guinea, menggunakan pesawat carteran sejak 10 juni 2009 atau sehari sebelum vonis dibacakan oleh MA.
Juli 2012
Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan otoritas pemerintah Papua Nugini telah memberikan kewarganegraan kepada Djoko Tjandra, sehingga eksekusi terhadapnya mengalami kesulitan. Sehingga dengan hal tersebut, Djoko Tjandra tak lagi bisa disentuh oleh hukum di Indonesia.**